“Sebelumnya, tak ada orang yang tahu dimana itu Batang, dan siapa Yoyok Riyo Sudibyo. Begitu saya muncul di televisi, semua orang Batang jadi tahu semua. Termasuk orang di luar Kabupaten Batang. Itulah peran media yang memiliki efek yang luar biasa,” ungkap Yoyok saat bicara dalam diskusi “Strategi Pemimpin Daerah Menggerakkan Partisipasi Rakyat” di Sofyan Hotel Betawi, Ahad (21/8) lalu.
Yoyok bercerita, tentang perjalanannya menjadi Bupati Batang. Sebelumnya Yoyok berprofesi sebagai Perwira Seksi Operasi Intelijen. Bahkan ia sempat masuk ke BIN dengan posisi Kepala Sub Direktorat Pengarahan Penggalangan Massa. Jakarta Raya, Bogor dan Tangerang adalah wilayah operasionalnya. Ketika itu pangkatnya sebagai Letkol.
“Sebelum jadi tentara, tahun 1994 saya pernah bekerja di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ketika itu umur saya 25 tahun. Pekerjaan saya adalah menghitung keluar masuk kontainer di pelabuhan,” kata Yoyok mengenang.
Selama di BIN, ia ditugaskan ke Papua. Anehnya, ia disuruh jadi pedagang oleh pimpinannya di BIN. Jadilah Yoyok tentara yang berdagang. Selama menjalani bisnis di Papua, ia punya banyak toko. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, sebanyak 48 toko. Modalnya ketika ia menjual mobil Hartop senilai Rp. 44 juta.
“Singkat cerita, saya minta pensiun dini, karena ternyata dagang itu enak sekali. Waktu saya memberitahu ibu saya, bahwa saya telah pensiun jadi tentara. Padahal pangkat saya sudah Mayor.”
Didesak Keluarga
Begitu pulang kampung ke Batang saat moment Lebaran Idul Fitri, Yoyok didorong-dorong oleh saudara-saudaranya agar mencoba mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati Batang. Tapi Yoyok acuh tak bergeming. Suatu ketika adik bungsunya yang bertugas di Brimob Kelapa Dua Depok, terus mendesak agar Yoyok mau mencalonkan diri sebagai Bupati Batang.
“Adik saya bilang begini, kok tentara penakut. Akhirnya saya maju mencalonkan diri sebagai Bupati Batang dan terpilih. Sebelum datang ke KPU untuk mendaftar, partai datang ke saya, bukan saya yang datang ke partai. Akhirnya saya dan partai berjuang bersama-sama.”
Yoyok mengakui, tidak mudah menjadi pemimpin daerah. “Ketika itu tahu apa saya. Saya tidak ngerti persoalan kabupaten dan pemerintahan. Ilmu birokrasi saja nggak ngerti, apalagi ilmu anggaran, tata pemerintahan, bahkan ilmu politik juga, karena tidak pernah belajar politik,” terangnya.
Lalu apa modal terbesar Yoyok sukses memimpin Batang?
“Modal saya yang terbesar adalah saya punya akal dan hati. Saya berusaha mencari solusi, belajar dengan Ibu Risma dan Jokowi. Ternyata untuk belajar itu tak perlu banyak waktu.”
Tahun pertama akhir, memasuki tahun kedua, Yoyok memanggilnya ibunya, seraya menangis. Ia menyatakan tidak sanggup menjalani tugasnya yang berat sebagai pemimpin. Yoyok kembali minta pensiun. Saat itu Batang dan Jawa tengah geger. Ia dipanggil Gubernur Jateng yang juga mantan tentara.
“Hal yang saya ingat dari ucapan yang luar biasa ibu saya adalah ketika ibu saya mengatakan, kamu sudah sumpah jabatan saat dilantik. Jabatan itu ringan, seringan bulu ayam. Pangkat bisa dibeli di toko pangkat. Tapi, sungguh berat menjadi seorang pemimpin, karena sudah bersumpah di hadapan Allah,” kisah Yoyok dengan suara bergetar.
Setelah Yoyok menjadi Bupati Batang, ia berterima kasih kepada rakyatnya yang telah memilihnya, dan berkomitmen, ia tidak akan masuk ke salah satu partai politik manapun.
“Partai saya adalah PRB alias Partai Rakyat Batang. Begitu saya menjadi Bupati, saya melantik pejabatnya di dalam masjid,” ujarnya.
Kepemimpinan Yoyok membuahkan hasil. Batang berubah total. Keberhasilannya membuat dirinya menjadi orang yang paling dicari wartawan. (desastian/Islampos)