Politik di Mata Tuan Guru Bajang M. Zainul Majdi

Politik di Mata Tuan Guru Bajang M. Zainul Majdi

Sujanews.com —   Jangan bicara politik di masjid, ulama jangan berpolitik!  Jangan campur agama dengan politik!  Demikian sebagian orang berpendapat. Menjadi menarik, di saat kata-kata seperti itu sering terdengar, kita menyaksikan sosok Tuan Guru Bajang (TGB) Dr. H. M. Zainul Majdi, seorang ulama alumni Universitas Al-Azhar Mesir sekarang menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB).

Penasaran dengan pandangannya tentang politik, hidayatullah.com menemuinya usai acara pembentukan Aliansi Strategis antara Sarikat Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan alumni Universitas Al-Azhar Mesir di Sofyan Hotel Betawi, pada Rabu lalu. Sambil menyantap sayur sop, ia menjawab satu per satu pertanyaan kami. Berikut petikannya:

Bagaimana politik di mata Anda?

Politik itu bagi saya adalah ranah perkhidmatan. Jadi ruang untuk kita mengabdi dan berdakwah. Bagaimana dakwah dalam politik itu? Pertama, merumuskan kebijakan-kebijakan yang memenuhi kaidah-kaidah kemaslahatan, nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, kesetaraan, dan spiritualitas. Islam itu dalam kepemimpinan mengajarkan innallaha ya’muru bil ‘adli wal ihsan. Pemimpin itu harus mampu menelurkan kebijakan yang adil dan mampu memfasilitasi kelompok-kelompok yang lemah. Bisa memberikan keberpihakan lebih pada mustadh ‘afin (orang yang dilemahkan). Wayanha anil fahsya iwal munkar (mencegah daripada perbuatan keji dan mungkar). Pemimpin itu tidak boleh memfasilitasi kekejian atau membuat regulasi-regulasi yang semakin tersebarnya kemunkaran.

Kedua, menghadirkan keteladanan yang baik kepada masyarakat.

Ketiga, memfasilitasi inisiatif kebaikan-kebaikan masyarakat. Banyak inisiatif dari masyarakat yang lahir, tumbuh dan berkembang, tapi kalau itu tidak dirajut, dia hanya menjadi inisiatif pribadi atau kelompok.


Tuan Guru Bajang (TGB) M. Zainul Majdi menggandeng tangan Ustad Abdullah Somad (UAS)

Tapi begitu dirajut dalam satu sistem dan alur yang baik, maka kebermanfaatannya pasti akan berlipat ganda. Nah, fungsi pemimpin menjadi fasilitator untuk merajut inisiatif-inisiatif kebaikan itu.

Jadi politik itu adalah ranah untuk memberikan nilai dakwah. Seluruh Muslim, siapapun dia, harus berdakwah, mengajak pada kebaikan. Dalam ruang apapun. Guru berdakwah dengan profesinya, pedagang berdakwah, politisi juga berdakwah.

Jadi politik itu sebagai alat dakwah ya?

Ya. Politik adalah salah satu instrumen dakwah yang sangat penting. Karena di dalam politik ada perumusan kebijakan. Kita tahu bahwa di dalam negara hukum, kebijakan atau peraturan/ rule of law itu menjadi sesuatu yang sangat penting. Kalau keluar kebijakan yang salah karena pemegang otoritas kebijakan itu tidak mengerti untuk apa dia memimpin, tidak punya visi mengarahkan masyarakat, tidak punya tata nilai yang bisa menjadi pondasi bagaimana dia berpikir dan bertindak, maka kebijakan akan keluar enggak karu-karuan. Mungkin dia hanya memperhitungkan untung jangka pendek. Mungkin juga hanya mempertimbangkan bagaimana mendapatkan sebesar-besarnya PAD (Pendapatan Asli Daerah), walaupun sumbernya tidak jelas. Jadi penting sekali visi yang jelas bagi pemimpin kemana dia hendak berjalan dan nilai apa yang melandasainya dalam memimpin.

Politik masih dianggap kotor dan busuk oleh sebagian orang?

Menurut saya itu warisan dari pandangan yang sengaja ditanamkan oleh para penjajah yang tahu betul kalau umat Islam itu punya visi politik yang baik, punya literasi politik yang kuat, dia melek politik, maka akan merepotkan kekuasaan mereka.

Sebelum kemerdekaan kan kalau membangun masjid, silakan, kalau membangun pasar, diawasi, tapi kalau menghimpun diri dalam satu gerakan politik dihabisi. Kan begitu dari penjajahan dulu. Jadi ada pewarisan itu. Sehingga sebagian dari kita mungkin secara tidak sadar mengadopsi pandangan kolonial itu.

Namun kita perlu introspeksi juga. Ketika misalnya ada tokoh agama atau tokoh umat masuk ke ranah politik, lalu ternyata dia tidak menghadirkan sesuatu yang baik, justru dia menghadirkan kemudharatan, dan menjadi contoh kepemimpinan yang tidak punya integritas sehingga akhirnya masyarakat melihat dan  mengeneralisir itu. Oh dia kan berlatar belakang dari partai Islam atau dia ustadz, lalu kok dia begini, berarti ustadz tidak boleh masuk politik. Jadi mengeneralisir kasus-kasus yang terjadi. Dan masyarakat tidak bisa disalahkan. Bagaimana menyelesaikan itu? Mari kita bangun integritas dalam berpolitik supaya masyarakat tidak mendapat contoh yang buruk-buruk. Otomatis menurut saya kalau kita membangun politik yang baik, maka kepercayaan masyarakat akan semakin kuat dan tidak lagi ada ungkapan politik kotor. Karena pada akhirnya politik itu wadah. Bersih kotornya tergantung air yang mengisi wadah itu.

Hubungan ulama dan umara (pemerintah) baiknya seperti apa?

Ulama dan umara itu adalah dua kelompok yang sangat penting untuk kemajuan atau kemunduran suatu masyarakat atau bangsa. Kalau kedua kelompok ini baik, maka masyarakat atau bangsa akan baik. Kalau keduanya bersinergi, maka masyarakat atau bangsa bukan hanya baik, tapi melejit, maju luar biasa. Jadi saling mengisi dan dalam posisi masing-masing bisa berperan katakanlah sebagai triger mechanism. Jadi dia bisa memicu.

Misalnya ulama berdiri di mimbar meniupkan semangat bahwa Islam itu membawa pada kemajuan. Sebelum bicara hasanah fil akhirah (kebaikan di akherat), hasanah fiddunya (kebaikan di dunia) dulu. 9 dari 10 pintu rezeki itu ada di bisnis. Maka mari kita bangun enterpreneurship. Pada saat ulama ngomong begitu, pada saat yang sama umara menyiapkan regulasi. Supaya apa yang diomongin ulama itu bisa terwujud.

Tapi kalau ulama bicara tentang keadilan, regulasinya tidak menghadirkan keadilan, masyarakat pusing. Begitu pulang dari masjid, dia berhusnuzhan, tapi begitu lihat suasana yang ril, dia jadi suuzhan lagi. Terjadilah paradok, terjadi keputusasaan masyarakat. Kalau kita ingin masyarakat kondusif, nyaman, bisa mengembangkan diri dengan baik, maka ujaran-ujaran yang dia dengar di rumah ibadah, mimbar-mimbar khutbah, di youtube-youtube tentang pelajaran agama itu bisa dia lihat dalam kebijakan-kebijakan publik yang hadir.

Kalau misalnya dia dengar bahwa rezeki yang halal itu berkah, tidak boleh mencuri dan lain-lain, tapi kemudian ternyata regulasi yang ada tidak sesuai dengan itu, justru hal-hal yang sifatnya destruktif dibiarkan begitu saja, kan jadi tidak nyambung. Jadi tidak baik. Dan itu bisa menimbulkan kelemahan kolektif. Orang jadi malas bicara tentang kemajuan bangsa karena dia lihat antara tataran ideal dengan realitas itu terlalu jauh perbedaannya. Saya pikir antara ulama dan umara bisa menjadi dua komponen utama untuk menjembatani supaya antara realitas dan idealitas itu bisa semakin mendekat.*/Andi R  [Sujanews.com]





Sumber: