Pada dasarnya tak perlu bagi bagi saya untuk buang-buang waktu menjawab opini Nusron terkait dengan teks2 Al-Qur’an. Akantetapi pernyataan Nusron bagi saya yang berkutat di dunia akademik terpicu menanggapinya karena Nusron beraggapan bahwa makna teks Al-Quran hanya Allah yang tahu dengan ditambahi beberapa contoh pendukungnya. Benarkah demikian? Saya akan jawab dengan singkat dengan dua ranah keilmuan yaitu al-Quran (dengan keterbatan ilmu agama saya) dan Disiplin ilmu Semiotika dan Hermenutika
Ranah Agama:
Tidak benar jika teks al-quran itu yang harus memahami hanya tuhan saja, karena jelas2 al-Quran diturunkan untuk manusia atau hudan linnas yang secara literal artinya ‘diturunkan untuk manusia’. Jika al-Quran hanya dipahami oleh Allah maka tak perlu ada istilah hudan linnas . Dalam al-Quran juga secara lugas dikatakan bahwa “sesungguhnya aku turunkan al-Quran dalam bahasa Arab agar kamu menggunakan akalmu (berpikir)”.
Bukti lain bahwa al-Quran harus dipahami oleh manusia yaitu dengan adanya ayat2 motivasi seperti frasa “afalaa tubsyiruun”, “afalaa tandurun”, “afalaa ta’qiluun”, “afalaa tatafakkarun”. Semua frasa itu Allah tujukan kepada ummat utk melihat, menelaah, mengkaji, meneliti dan menganalsis apa-apa yang terdapat dalam al-Quran. Allah tidak mungkin memotivasi dengan frasa2 itu jika hanya dia saja yang berhak tahu.
Dalam al-quran memang ada ayat2 muhkamat, nas, literal, primer,denotatif, harfiah atau dikenal juga sebagai teks2 ahistoris sebagai ayat hikmah yang dalam pencarian maknanya hanya dapat dilakukan dengan pendekatan ihsan. Tentu orang2 seperti Nusron dan orang2 di sekitarnya jauh dari katagori ihsan ini. Indikator ihsan itu tawadu’, zuhud, andep ashor, bijak dan tentu pintar ilmu duniawi dan ukhrowi atau disebut alam al-quran sebagai rasikh.
Selain ayat muhkamat juga terdapat ayat2 mutasyabbihat yaitu ayat-ayat yang secara semantis bermakna konotatif, lateral,historis makna sekunder,lingusitic meaning atau kalau meminjam semiotika dekonstruksi Julia Kristeva dan Jaques Derrida disebut sebagai significance yaitu makna2 subersif , kreatif dan interpretable. Teks2 historis ini dalam islam tetap dapat ditafsirkan dan kebenaran maknanya diberikan pada orang-orang yang ihsan yang dekat dengan Allah.
Ranah Keilmuan
Kalau pernyatan Nusron itu dikaitkan dengan kajian semiotika dan hermneutika tentu akan semakin terajungkal pemikiran Nusron tersebut. Kajian semiotika dan Hermeneutika justru akan secara ekstrem memaknai sebuah teks karena dalam pandangan mereka kebenaran makna itu ada pada penafsir atau mufassir itu sendiri.
Pemaknaan dalam semiotika dan hermenutika cenderung fulgar dan penuh dengan ketelanjangan makna. Demikian halnya soal kebenaran makna, semua akan dibawa ke ranah kebenaran manusia sebagai reader yang eksistensilis. Bahkan seorang semiolog post strukturalsime Roland Barthes menyebutkan bahwa pembaca teks atau mufassir itu bisa lebih tahu akan kebenaran suatu makna dari si pembuat teks atau author itu sendiri.
Sebagai penutup.
Opini Nusron itu tentu sangat bertentangan baik dengan pendekatan Al-quran ataupun dengan Imu Semiotik dan Hermeneutik. Pendapat saya Nusron mungkin menggunakan disiplin ilmu baru hasil ciptaannya sendiri. Wallau a’lam
Oleh: Daun Lontar Yogyakarta