Menurut Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas, watak hukum dari kebijakan undang-undang tax amesty itu harus jelas, begitu pula arah hukumnya. Kejelasan dalam UU itu, kata dia, harus bisa merumuskan niai-nilai dalam UUD 1945, pasal 33, pasal 1, yaitu pasal-pasal yang erat dengan demokrasi dan HAM.
"Perumusan UU itu juga harus memenuhi prosedur demokrasi dan faktanya UU tax amnesty itu belum memadai demokrasi masih minimalis. Sudah saat dievaluasi dan melalu JR kecuali pemerintah menunda," ujarnya usai penutupan Rakernas MHH PP Muhammadiyah, Ahad (28/8), dikutip dari Republika.co.id.
Menurutnya, tax amnesty tersebut tidak memiliki sasaran jelas. Akibatnya masyarakat umum juga terkena sasaran tersebut sehingga menjadi resah. "Sasarannya harus dievaluasi juga, jangan sampai justru masyarakat kecil terkena dampaknya. Tax amnesty ini sebenarnya ditujukan untuk orang yang mengalami problem dalam kewajiban pajak, dan orang ini hanya beberapa gelintir saja. Uangnya pun diparkir di luar negeri. Tapi semua masyarakat terkena imbasnya dan ini membuat gaduh," katanya.
Selain itu, menurut dia, naskah akademik UU Pengampunan Pajak tidak pernah dikemukakan secara langsung ke publik terutama kalangan akademis. Sehingga, masyarakat tidak bisa memberikan kritisi atas naskah tersebut. "UU ini bentuknya top down, kebijakan negara nalar hukumnya ditaruh dibawah kepentingan politik. Ini merusak sistem negara hukum," ujarnya.
Untuk itu, saat ini PP Muhammadyah melalui MHH akan menyusun argumen terkait JR tax amnesty tersebut dan rencana ini akan segera didaftaran ke Mahkamah Konstitusi. Dengan JR tersebut Muhammadiyah menurut Busyro juga berusaha memberikan solusi atas blunder pemerintahan Jokow-JK terkait tax amnesty ini.
Sementara itu Ketua MHH PP Muhammadiyah Syaiful Bahri mengatakan, selama ini MHH konsen terhadap JR UU yang justru menciderai UUD 45 dan Pancasila. "Saat ini kita sudah melakukan lima JR terhadap UU yang merugikan masyarakat dan negara," ujarnya. Lima JR UU tersebut antara lain UU Minerba, UU Sumber Daya Air, UU Ketenagalistrikan, UU Migas, dan UU Lalulintas Devisa.
Sebelumnya, Tim Advokasi Buruh Penegakan Pajak Indonesia (TABPPI) juga melakukan gugatan uji materi UU pengampunan pajak di MK.
Ketua tim advokasi TABPPI Dr. Eggi Sudjana SH.MSi menegaskan bahwa UUU tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Eggi menjelaskan, dengan adanya UU tersebut, maka secara jelas para pengusaha pengemplang pajak akan diampuni hukumannya, baik itu administrasi maupun pidananya. "Itu jelas bertentangan dengan pasal 23 A, pasal 27 ayat (1) Jo pasal 28 D (1) UUD 45. Penegakan hukum telah dibarter dengan uang tebusan yang sangat rendah demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang tidak pernah menguntungkan buruh," terangnya kepada Suara Islam Online beberapa waktu lalu di Jakarta.
Dan yang lebih bahaya lagi, kata Eggi, orang-orang yang melakukan kejahatan diberi kemudahan lewat aturan tersebut. "Masa orang yang sudah bikin kejahatan lewat korupsi, money loundry, narkoba atau kejahatan lainnya, taruh uang di luar negeri, terus cuma boleh di tarik hanya 2% saja, kan gila itu," tandasnya.