SUJA - Wahyu Nugroho, orang yang mengaku konsultan Informasi Teknologi (IT) kepercayaan calon presiden Joko Widodo ketika di Solo, membeberkan kejanggalan pengelolaan sistem Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo (BPMKS). Sistem ini kemudian diterapkan di Jakarta dan menjadi Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Disampaikan Wahyu, kejanggalan yang pertama adalah data mentah daftar siswa tidak mampu di Solo yang diberikan Dinas Pendidikan dan Olah Raga Kota Solo. Kata dia, data tahun 2010 jumlah siswa di Solo ada 105.000 siswa, sedangkan dinas memberikan data kepada dirinya ada 110.000 siswa.
"Masa siswa di Solo semuanya orang miskin. Saya tidak langsung percaya dengan data tersebut," kata Wahyu saat ditemui di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis malam, 3 Juli 2014.
Menurut Wahyu, merasa ada kejanggalan dengan hal tersebut, kemudian dia menginput data nama-nama siswa tersebut melalui sebuah sofware komputer. Tujuannya agar tidak ada nama siswa dan nomor induk siswa yang ganda.
Tapi Pemerintah Kota Solo justru menolak data tersebut untuk diperbaharui dan meminta untuk diinput apa adanya sesuai data yang diberikan. Menurut Wahyu, data mentah yang diberikan kepada dirinya diinput melalui program komputer Microsoft Excel.
Data itu kemudian disaring lagi karena harus dimasukan dalam data base program PHP yang berbasiskan website online.
"Kalau data base PHP kan tidak bisa ada nama yang sama atau dobel-dobel. Kalau excel kan mau dobel sepuluh kali juga bisa saja," katanya.
Setelah dimasukan ke dalam data base PHP, ternyata data nama siswa yang tidak dobel hanya ada 65 ribu siswa. Menurutnya, itulah data siswa tidak mampu di Kota Solo yang sebenarnya.
Dia kemudian melaporkan tapi sempat tidak diterima oleh pihak Pemerintah Kota Solo karena menginginkan data yang 110 ribu siswa itu bukan yang sudah disaring jadi 65 ribu siswa tidak mampu. Karena itu, Wahyu kemudian mengundurkan diri dari proyek besutan Joko Widodo di Solo.
"Daripada saya bohongi masyarakat, lebih baik saya tidak dipakai lagi. Masih banyak pekerjaan lain," katanya.
Kemudian kejanggalan yang kedua adalah masalah anggaran untuk pelaksanaan kartu pintar di Kota Solo itu. Pada tahun 2008 dan 2009 anggaran untuk kartu pintar itu Rp10 miliar. Kemudian, pada tahun 2010 tiba-tiba anggarannya membengkak menjadi Rp23 miliar, lalu pada tahun 2011 menjadi Rp21 miliar. Lalu pada tahun 2012 membengkak menjadi Rp30 miliar.
"Padahal kan jumlah siswanya hanya segitu-segitu juga. Paling kalau bertambah juga hanya 100 atau 200 siswa saja," katanya.
Sementara itu, mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda (HIPMI) Solo, Ali Usman menuturkan, sebenarnya pada saat Joko Widodo terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta dan menerapkan sistem yang sama.
Ali Usman dan Wahyu kemudian mengingatkan agar Joko Widodo agar sistem itu diperbaharui dan jangan sampai digunakan di Jakarta. Tetapi dihiraukan. Padahal program kartu pintar yang pertamakali diterapkan tahun 2008 di Solo masih bermasalah.
"Saya melihatnya seperti ada kesengajaan. Sekarang diterapkan di Jakarta dan sekarang mau diterapkan di nasional," katanya.
Terkait kejanggalan-kejanggalan itu, dia sudah dua kali melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ali Usman mengakui sudah beberapa kali dimintai keterangan oleh penyidik KPK. Tapi tidak ada tindak lanjutnya.
"Saya harap itu jangan sampai digunakan di nasional. Kalau digunakan negara bisa rugi ratusan trilliun," tutur Ali.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai ada permasalahan dalam laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta Tahun 2013. Termasuk Kartu Jakarta Pintar, Biaya Operasional Pendidikan (BOP), dan sejumlah program lainnya.
Joko Widodo sejak lama sudah membantah terkait tudingan ini. Dia menanggapi santai adanya pihak yang melaporkan tudingan dugaan korupsi dana BPMKS.
Saat Pilkada Solo periode kedua, dia juga dilaporkan ke KPK adalah dugaan korupsi pembangunan pasar tradisional. Hasilnya ternyata tidak ada dugaan korupsi. Menurut Joko Widodo, dia menduga kemungkinan yang dilaporkan itu hasil verifikasi awal. Padahal verifikasi data siswa dilakukan berkali-kali hingga verifikasi terakhir.
"Memang kalau yang dipakai verifikasi awal kelihatan seperti itu, tetapi nyatanya tidak," katanya.
Selanjutnya Jokowi pun menyarankan untuk bertanya kepada Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kota Solo terkait masalah penghitungan jumlah siswa yang mendapat BPMKS.
Audit BPK
BPK menilai Kartu Jakarta Pintar yang terindikasi salah dalam penyalurannya ke masyarakat. BPK menyebut ada 9.006 penerima ganda, yakni nama anak dan nama ibu kandung yang identik dan merugikan senilai Rp13,34 miliar.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mengakui bahwa dalam Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang dibawa Joko Widodo itu banyak kejanggalan, salah satunya nama-nama siswa yang dobel. Ahok, sapaan Basuki, mengaku ingin memperbaiki sistem tersebut karena dianggap merugikan negara.
"Masih banyak yang dobel-dobel. Mereka salah tulis nama. Bukan salah bank, sekolah yang salah kirim data," katanya.
Kemudian, persoalan lain yang ditemukan dalam operasi Pemprov terkait distribusi KJP yang tidak tepat sasaran. Banyak siswa miskin yang dihentikan dana KJP-nya karena melanjutkan sekolah di swasta. Menurut Basuki, siswa tersebut seharusnya tetap mendapatkan KJP.
"Anak sekolah dapat KJP di negeri, dia terpaksa masuk swasta karena tidak diterima di negeri. Seharusnya KJP-nya diterusin karena KJP dari SD, SMP, sampai SMA," kata Ahok.
Data penerima KJP mencapai angka 401.767 siswa dengan perincian siswa SD/MI sebanyak 265.695 anak, siswa SMP/MTs 81.945 anak, dan siswa SMA/MA/SMK 63.127 anak.
Sebelumnya, Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis hasil riset yang menyebutkan bahwa 19,4 persen dari 405 ribu Kartu Jakarta Pintar (KJP) tidak tepat sasaran.
Penggunaan yang tidak tepat sasaran itu berasal dari semua jenjang pendidikan, yakni SD/MI (14,6 persen), SMP/MTs (3,4 persen), dan SMA/MA/SMK (1,4 persen). Selain itu, berdasarkan persepsi orang tua murid ditemukan bahwa 19,3 persen dari penerima KJP memang tidak tepat sasaran. Sedangkan sisanya, 66,9 persen tepat sasaran.
Riset ICW berlangsung selama 3 Februari-17 Maret 2014. Metode yang digunakan adalah Citizen Report Cards (CRC). Dengan metode CRC, ICW membagi kelompok siswa miskin menjadi dua kelompok, siswa penerima KJP 2013 dan siswa miskin nonpenerima KJP.
Pada kelompok pertama, CRC menggunakan metode survei kuantitatif untuk menaksir tiga aspek program, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat guna/manfaat. Sampel dari siswa kelompok pertama berjumlah 650 orang yang dipilih secara dua tahap (two stage random sampling with probability proporsional to size).
Tahap pertama, periset memilih sekolah secara acak di antara daftar sekolah penerima KJP. Tahap kedua, periset memilih siswa dari sekolah yang terpilih pada tahap pertama. Margin of error sekitar 4-5 persen dengan tingkat signiifikansi 95 persen.
Sampel kedua diperoleh dengan mencari 10 siswa miskin yang belum/tidak menerima KJP secara acak di 35 kelurahan di DKI Jakarta. Kriteria siswa miskin tersebut antara lain orang tua bekerja dengan pendapatan di bawah Rp2,5 juta per bulan.
Sementara itu, biaya dari riset tersebut mencapai Rp80 juta yang berasal dari sponsor. ICW tak bersedia membeberkan siapa sponsor mereka secara detail.
Disampaikan Wahyu, kejanggalan yang pertama adalah data mentah daftar siswa tidak mampu di Solo yang diberikan Dinas Pendidikan dan Olah Raga Kota Solo. Kata dia, data tahun 2010 jumlah siswa di Solo ada 105.000 siswa, sedangkan dinas memberikan data kepada dirinya ada 110.000 siswa.
"Masa siswa di Solo semuanya orang miskin. Saya tidak langsung percaya dengan data tersebut," kata Wahyu saat ditemui di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis malam, 3 Juli 2014.
Menurut Wahyu, merasa ada kejanggalan dengan hal tersebut, kemudian dia menginput data nama-nama siswa tersebut melalui sebuah sofware komputer. Tujuannya agar tidak ada nama siswa dan nomor induk siswa yang ganda.
Tapi Pemerintah Kota Solo justru menolak data tersebut untuk diperbaharui dan meminta untuk diinput apa adanya sesuai data yang diberikan. Menurut Wahyu, data mentah yang diberikan kepada dirinya diinput melalui program komputer Microsoft Excel.
Data itu kemudian disaring lagi karena harus dimasukan dalam data base program PHP yang berbasiskan website online.
"Kalau data base PHP kan tidak bisa ada nama yang sama atau dobel-dobel. Kalau excel kan mau dobel sepuluh kali juga bisa saja," katanya.
Setelah dimasukan ke dalam data base PHP, ternyata data nama siswa yang tidak dobel hanya ada 65 ribu siswa. Menurutnya, itulah data siswa tidak mampu di Kota Solo yang sebenarnya.
Dia kemudian melaporkan tapi sempat tidak diterima oleh pihak Pemerintah Kota Solo karena menginginkan data yang 110 ribu siswa itu bukan yang sudah disaring jadi 65 ribu siswa tidak mampu. Karena itu, Wahyu kemudian mengundurkan diri dari proyek besutan Joko Widodo di Solo.
"Daripada saya bohongi masyarakat, lebih baik saya tidak dipakai lagi. Masih banyak pekerjaan lain," katanya.
Kemudian kejanggalan yang kedua adalah masalah anggaran untuk pelaksanaan kartu pintar di Kota Solo itu. Pada tahun 2008 dan 2009 anggaran untuk kartu pintar itu Rp10 miliar. Kemudian, pada tahun 2010 tiba-tiba anggarannya membengkak menjadi Rp23 miliar, lalu pada tahun 2011 menjadi Rp21 miliar. Lalu pada tahun 2012 membengkak menjadi Rp30 miliar.
"Padahal kan jumlah siswanya hanya segitu-segitu juga. Paling kalau bertambah juga hanya 100 atau 200 siswa saja," katanya.
Sementara itu, mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda (HIPMI) Solo, Ali Usman menuturkan, sebenarnya pada saat Joko Widodo terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta dan menerapkan sistem yang sama.
Ali Usman dan Wahyu kemudian mengingatkan agar Joko Widodo agar sistem itu diperbaharui dan jangan sampai digunakan di Jakarta. Tetapi dihiraukan. Padahal program kartu pintar yang pertamakali diterapkan tahun 2008 di Solo masih bermasalah.
"Saya melihatnya seperti ada kesengajaan. Sekarang diterapkan di Jakarta dan sekarang mau diterapkan di nasional," katanya.
Terkait kejanggalan-kejanggalan itu, dia sudah dua kali melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ali Usman mengakui sudah beberapa kali dimintai keterangan oleh penyidik KPK. Tapi tidak ada tindak lanjutnya.
"Saya harap itu jangan sampai digunakan di nasional. Kalau digunakan negara bisa rugi ratusan trilliun," tutur Ali.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai ada permasalahan dalam laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta Tahun 2013. Termasuk Kartu Jakarta Pintar, Biaya Operasional Pendidikan (BOP), dan sejumlah program lainnya.
Joko Widodo sejak lama sudah membantah terkait tudingan ini. Dia menanggapi santai adanya pihak yang melaporkan tudingan dugaan korupsi dana BPMKS.
Saat Pilkada Solo periode kedua, dia juga dilaporkan ke KPK adalah dugaan korupsi pembangunan pasar tradisional. Hasilnya ternyata tidak ada dugaan korupsi. Menurut Joko Widodo, dia menduga kemungkinan yang dilaporkan itu hasil verifikasi awal. Padahal verifikasi data siswa dilakukan berkali-kali hingga verifikasi terakhir.
"Memang kalau yang dipakai verifikasi awal kelihatan seperti itu, tetapi nyatanya tidak," katanya.
Selanjutnya Jokowi pun menyarankan untuk bertanya kepada Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kota Solo terkait masalah penghitungan jumlah siswa yang mendapat BPMKS.
Audit BPK
BPK menilai Kartu Jakarta Pintar yang terindikasi salah dalam penyalurannya ke masyarakat. BPK menyebut ada 9.006 penerima ganda, yakni nama anak dan nama ibu kandung yang identik dan merugikan senilai Rp13,34 miliar.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mengakui bahwa dalam Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang dibawa Joko Widodo itu banyak kejanggalan, salah satunya nama-nama siswa yang dobel. Ahok, sapaan Basuki, mengaku ingin memperbaiki sistem tersebut karena dianggap merugikan negara.
"Masih banyak yang dobel-dobel. Mereka salah tulis nama. Bukan salah bank, sekolah yang salah kirim data," katanya.
Kemudian, persoalan lain yang ditemukan dalam operasi Pemprov terkait distribusi KJP yang tidak tepat sasaran. Banyak siswa miskin yang dihentikan dana KJP-nya karena melanjutkan sekolah di swasta. Menurut Basuki, siswa tersebut seharusnya tetap mendapatkan KJP.
"Anak sekolah dapat KJP di negeri, dia terpaksa masuk swasta karena tidak diterima di negeri. Seharusnya KJP-nya diterusin karena KJP dari SD, SMP, sampai SMA," kata Ahok.
Data penerima KJP mencapai angka 401.767 siswa dengan perincian siswa SD/MI sebanyak 265.695 anak, siswa SMP/MTs 81.945 anak, dan siswa SMA/MA/SMK 63.127 anak.
Sebelumnya, Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis hasil riset yang menyebutkan bahwa 19,4 persen dari 405 ribu Kartu Jakarta Pintar (KJP) tidak tepat sasaran.
Penggunaan yang tidak tepat sasaran itu berasal dari semua jenjang pendidikan, yakni SD/MI (14,6 persen), SMP/MTs (3,4 persen), dan SMA/MA/SMK (1,4 persen). Selain itu, berdasarkan persepsi orang tua murid ditemukan bahwa 19,3 persen dari penerima KJP memang tidak tepat sasaran. Sedangkan sisanya, 66,9 persen tepat sasaran.
Riset ICW berlangsung selama 3 Februari-17 Maret 2014. Metode yang digunakan adalah Citizen Report Cards (CRC). Dengan metode CRC, ICW membagi kelompok siswa miskin menjadi dua kelompok, siswa penerima KJP 2013 dan siswa miskin nonpenerima KJP.
Pada kelompok pertama, CRC menggunakan metode survei kuantitatif untuk menaksir tiga aspek program, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat guna/manfaat. Sampel dari siswa kelompok pertama berjumlah 650 orang yang dipilih secara dua tahap (two stage random sampling with probability proporsional to size).
Tahap pertama, periset memilih sekolah secara acak di antara daftar sekolah penerima KJP. Tahap kedua, periset memilih siswa dari sekolah yang terpilih pada tahap pertama. Margin of error sekitar 4-5 persen dengan tingkat signiifikansi 95 persen.
Sampel kedua diperoleh dengan mencari 10 siswa miskin yang belum/tidak menerima KJP secara acak di 35 kelurahan di DKI Jakarta. Kriteria siswa miskin tersebut antara lain orang tua bekerja dengan pendapatan di bawah Rp2,5 juta per bulan.
Sementara itu, biaya dari riset tersebut mencapai Rp80 juta yang berasal dari sponsor. ICW tak bersedia membeberkan siapa sponsor mereka secara detail.