Berkatalah yang Baik Atau Hendaklah Diam

Berkatalah yang Baik Atau Hendaklah Diam
 Kelemahan banyak orang tua dalam mendidik anak adalah dalam bahasa. Memilih kata-kata yang bisa menyentuh anak sehingga anak termotivasi dari lisan ayah dan bunda bukanlah perkara yang mudah. Seringkali yang terjadi adalah kata-kata instan dan doktrin tanpa anak mendapatkan informasi kejelasan dari sebuah perintah dan larangan.

“Makan yang banyak nanti kamu kurus terus.”

“Belajar yang tekun umi abi sangat sibuk, kalau tidak bisa belajar mandiri mau jadi apa kamu nanti, apa kamu mau jadi tukang ojek.”

“Cepetan sholat , kamu mau masuk neraka, kamu mau disiksa Allah.”

Entah apalagi yang terkadang kita malas menjalani proses untuk mencelupkan setetes demi setetes embun keimanan pada fithroh anak.

Bahasa itu dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan, bila pikiran tidak lagi on untuk mengendalikan maka bahasa yang keluar adalah bahasa emosional. Dan bahasa logika saja juga tidak cukup untuk membangun konsep diri positif pada anak harus disertai dengan bahasa aqidah berikut disertai bahasa rasa agar mampu menyentuh pikiran dan perasaan sekaligus.

Mengemas bahasa termasuk kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam mendidik anak, karena bahasa adalah wasilah untuk memahami dan menyampaikan pemahaman, dalam hal ini tentunya membentuk pemahaman anak untuk memunculkan kesadaran.

Sebuah kesadaran adalah penting maka membutuhkan bahasa untuk mendorong anak agar berubah ke arah tercapainya tujuan pendidikan, yaitu terbentuknya kepribadian Islam anak. Maka dari itu belajar harus dilakukan dengan jalan talqiyyan fikriyyan (proses belajar dengan pemikiran). Talqiyyan fikriyyan metodenya adalah bahasa.

Bahasa ibu sejatinya adalah bahasa yang sangat disukai anak, walau dengan bahasa marah sekalipun. Namun ibu yang sholehah harus mampu menyesuaikan dengan syariah, disesuaikan juga dengan level berpikir anak.

Bahasa yang digunakan untuk anak usia dini tentu tidaklah sama dengan bahasa untuk anak usia tamyiz dan usia baligh karena kemampuan berpikir mereka tidaklah sama. Maka ibu harus bijak menggunakan bahasa, pada saat kapan bahasa yang dikeluarkan dengan stimulasi, saat kapan bahasa disiplin dan saat kapan bahasa serius menjalani kehidupan. Jangan sampai terbalik-balik, seperti ketika anak usia 10 tahun harus diperlakukan serius malah bahasa pemakluman yang banyak digunakan. Anak usia dini yang seharusnya dengan bahasa stimulasi untuk mencelupkan aqidah namun digunakan bahasa pemaksaan menjalankan ketaatan.

Dalam hal ini tidaklah salah kita mengharapkan bahwa ibu butuh kecerdasan dalam berbahasa. Kecerdasan bahasa ini adalah cerminan kecerdasan berpikir dan kecerdasan emosional, maka ibu membutuhkan ilmu yang lebih banyak untuk dikuasai mencakup seluruh cabang ilmu, semisal Bahasa Arab, Al-Quran, Tsaqofah islam, sains, dan beberapa kemahiran dan kreatifitas untuk menyetel kepribadian Islam anak.

Namun seringkali ibu dihadapkan pada suatu kondisi tidak bisa mengendalikan tingkah polah anak, seakan ibu kehilangan bahasa untuk menyampaikan banyak hal apa yang ada dalam benaknya. Apalagi bila ibu berhadapan dengan kerewelan anak, perlawanan dan pemaksaan bahkan tindakan fisik anak ketika meminta sesuatu. Emosional ibu pastilah memuncak, semua perasaan serasa diaduk-aduk sehingga terlintas dalam benaknya, kok anak ini nakal amat, gak bisa diatur, pelawan, dsb.

Bila ibu dihadapkan kondisi seperti ini hendaklah diam dan biarkan anak menangis dan meronta hingga ada seuntai doa ibu yang mampu menenangkannya. Jangan pernah mengeluarkan godaan bahasa yang tidak ahsan sebab itu ciri orang bukan beriman.

Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda :
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata kebaikan atau hendaklah dia diam.”

Yanti Tanjung, Penulis buku parenting ‘Menjadi Ibu Tangguh’