Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mendesak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), organisasi internasional dan regional lainnya menjadikan tanggal 15 Maret sebagai “Hari Solidaritas Internasional melawan Islamofobia”.
“Dunia Islam tidak memiliki hak prerogatif untuk membuat dan menerapkan keputusan untuk menentukan masa depannya,” kata Erdogan dalam pidatonya di sesi pembukaan KTT Komite Tetap 29 untuk Kerja Sama Ekonomi dan Komersial (COMCEC) yang ke-35 di Istanbul hari Rabu (27/11).
Dalam pidatonya Erdogan mengajak kepada seluruh umat Islam untuk menjadi pembela keadilan di abad ke-21 ini.
“Tidak akan ada keraguan bagi para pembela keadilan untuk bekerja keras dalam menegakkannya selama kedzaliman masih merajalela. Para Muslim harus jadi pembela keadilan di abad ke-21,” ujar dia.
Dia melanjutkan dengan mencatat bahwa umat Islam tidak berdaya, tidak aktif dan tidak cukup terwakili dalam organisasi internasional.
“Pertama-tama kita harus percaya pada diri kita sendiri. Sebagai Organisasi untuk Kerjasama Islam (OKI), kita perlu mengenali kekuatan kita, memahami diri kita sendiri dan menentukan sikap kita yang sesuai. AS, yang gagal menemukan solusi di Bosnia-Herzegovina, Rwanda dan Suriah tidak akan menemukan solusi untuk masalah kita,” katanya dan menyarankan bahwa struktur Dewan Keamanan perlu dibentuk dengan mempertimbangkan populasi dunia katanya dikutip Daily Sabah.
Dunia Islam mudah dimanipulasi karena umat Islam bukan komunitas yang bersatu padu, kata Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Presiden menggarisbawahi bahwa negara-negara mayoritas Muslim menghadapi banyak ancaman, termasuk terorisme dan perang saudara, di atas peningkatan xenophobia.
“Organisasi teroris menumpahkan darah di pasar kami, masjid dan sekolah,” kata Erdogan, merujuk pada kelompok yang melakukan serangan teroris dengan nama Islam.
Dia mengulangi seruannya untuk merestrukturisasi AS dan berpendapat bahwa umat Islam perlu menjadi pembela keadilan di abad ke-21.
Dia memperluas panggilan persaudaraannya di luar hubungan yang menguntungkan di antara umat Islam dengan menyarankan bahwa negara-negara Muslim harus memobilisasi untuk bekerja sama dalam urusan teknis, perdagangan, budaya dan sosial.
Turki telah menyuarakan keprihatinannya tentang meningkatnya sentimen anti-Muslim dan serangan yang menargetkan Muslim di Barat.
Turki, bersama dengan Pakistan dan Malaysia, juga telah mengusulkan untuk mendirikan pusat media dan komunikasi bersama melawan rasisme anti-Muslim.
Kebencian anti-Muslim telah meningkat secara signifikan di Eropa dalam beberapa tahun terakhir. Ekstremisme dan xenophobia sayap kanan telah memicu kebencian anti-Muslim di negara-negara Barat, di mana serangan teror oleh Daesh dan al-Qaeda digunakan sebagai alasan untuk melegitimasi pandangan-pandangan itu.
Meskipun permusuhan terhadap Muslim bukanlah fenomena baru, itu meningkat setelah tahun 2001 ketika dua pesawat menabrak World Trade Center di New York City. Sejak itu, selama hampir dua dekade, Islam telah dinodai secara tidak adil dengan label-label yang memiliki konotasi negatif dan digambarkan sebagai agama kebencian dan kekerasan dengan sentimen anti-Barat dan penindasan perempuan. Tren intoleransi ini telah memicu serangan mematikan terhadap Muslim dan imigran.
Dengan meningkatnya rasisme sebagai masalah serius di hampir semua negara UE, warga negara asing menjadi lebih rentan di beberapa negara. Sebagai contoh, di Jerman, Muslim telah menjadi target serangan yang tak terhitung jumlahnya dalam beberapa tahun terakhir.
Menyinggung masalah Palestina, Presiden Erdogan mengatakan umat Islam juga harus mengambil sikap tegas terhadap ketidakadilan Israel.
“Dengan tidak menghormati hak rakyat Palestina untuk hidup dan bekerja dalam damai, Israel membahayakan masa depan dunia dan kawasan,” katanya dan menambahkan bahwa Turki bertekad untuk membela hak-hak warga Palestina di semua tempat dan kesempatan.