Menurutnya, persoalan pokoknya bermula dari kasus penodaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama alias Ahok. Aboe menganggap perlakuan terhadap Ahok berbeda dengan kasus penodaan agama yang menjerat Permadi, Lia Eden ataupun Arswendo Atmowiloto.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan, polisi baru menjerat Ahok sebagai tersangka penodaan agama setelah jutaan umat Islam turun ke jalan.
"Ahok baru dijadikan tersangka saat didemo ratusan ribu orang di Aksi 411," katanya di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (21/2).
Selain itu, lanjut dia, para tersangka kasus penistaan pada umumnya selalu ditahan. Namun, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan, tindakan serupa ternyata tidak berlaku pada Ahok.
Bahkan, jutaan umat Islam yang berdoa di Monas dalam Aksi 212 juga tidak mampu membawa Ahok ke tahanan. "Hal inilah yang kemudian dilihat oleh publik sebagai sebuah permasalahan," katanya.
Yang lebih aneh lagi, kata politikus yang akrab disapa dengan panggilan Habib Aboe itu, Ahok tetap aktif sebagai gubernur DKI meski sudah menyandang status terdakwa. Padahal Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda) sudah mengatur bahwa kepala daerah yang didakwa dalam perkara dengan ancaman hukuman minimal lima tahun penjara harus dinonaktifkan.
Namun, kata Habib Aboe, pemerintah tak mau mencopot Ahok. Berbagai alasan pun disodorkan.
Sementara kepala daerah lain yang menyandang status terdakwa langsung dicopot. "Hal ini tentunya menambah kuat persepsi publik adanya perlakukan istimewa yang diberikan," jelasnya.
Ironisnya, para penggagas aksi unjuk rasa umat Islam justru diperkarakan. Misalnya, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab yang dikriminalisasi dalam kasus dugaan penghinaan terhadap Pancasila.
"Habib Riziq diperkarakan tesisnya yang membahas Pancasila, padahal banyak beredar buku berisi ajaran PKI yang tidak disentuh," ujarnya.
Hal serupa juga terjadi pada Ketua Umum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Bachtiar Nasir. Sebab, Bachtiar justru diseret-seret dalam kasus dugaan pencucian uang dari hasil sedekah umat.
"Ini juga hal yang aneh. Publik pun akhirnya membandingkan dengan aliran dana ke Teman Ahok yang kerap di sebut di publik hingga Rp 30 miliar, kenapa tidak mendapatkan perlakukan serupa," paparnya.
Habib Aboe menegaskan, Indonesia sebagai negara hukum harus mengutamakan keadilan. Sebab, jangan sampai hukum hanya berlaku pada kalangan tertentu.
“Jangan sampai akhirnya masyarakat menyimpulkan hukum tumpul ke Ahok dan tajam ke ulama. Kalau sampai ada kesimpulan seperti itu di hati masyarakat, bisa bahaya sekali," pungkasnya. [Sujanews.com]