Blunder ucapan politisi PDIP soal penyadapan demi bela Ahok

Blunder ucapan politisi PDIP soal penyadapan demi bela Ahok

Sujanews.com —   Sidang dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Selasa kemarin mencuri perhatian publik. Dalam sidang, Ahok dan kuasa hukumnya mengaku memiliki bukti percakapan antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Ketua MUI Ma'ruf Amin. SBY dan Partai Demokrat berang, diduga ada penyadapan ilegal.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Junimart Girsang mengatakan, penyadapan untuk menemukan bukti rekaman percakapan SBY dengan Ma'ruf Amin tidak melanggar hukum. Penyadapan diperbolehkan jika tidak digunakan untuk melakukan kejahatan.

"Pengertian penyadapan ada dua, penyadapan oleh penegak hukum dalam rangka mengungkap kejahatan, kedua penyadapan untuk kepentingan saya sendiri. Dalam rangka mempertahankan hak dan kepentingan hukum saya. Kan tidak melanggar, kecuali penyadapan itu digunakan untuk memeras orang. Itu tidak benar," kata Junimart di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/1).

Apalagi, kata dia, keterangan kubu Ahok bahwa fatwa penistaan agama yang dikeluarkan MUI terburu-buru dan bermuatan politis adalah pembelaan di persidangan. Pihaknya menduga keluarnya fatwa tersebut keluar setelah percakapan Ma'ruf dan SBY.

Ucapan Junimart soal penyadapan boleh dilakukan siapa saja ini dianggap blunder. Lawan politik PDIP pun langsung mengecam dan membantah pernyataan Junimart.

Sebut saja Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid yang menegaskan penyadapan tidak boleh dilakukan sembarang orang. Dalam aturan hukum, pihak yang diperbolehkan melakukan penyadapan yakni lembaga intelijen seperti BIN dan KPK serta lembaga dengan kewenangan khusus.

"Penyadapan itu ada hukumnya dan sekaligus ada lembaga yang diberi kewenangan, yaitu dua lembaga besar BIN dan KPK, maupun yang diberikan kewenangan secara prinsip," kata Hidayat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (3/2).

Menurutnya, pernyataan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama dan kuasa hukumnya soal data rekaman percakapan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua MUI Ma'ruf Amin memiliki dua konsekuensi.

Pertama, jika bukti rekaman percakapan itu didapat melalui penyadapan, sudah jelas Ahok dan kuasa hukumnya melanggar UU ITE karena tidak memiliki hak menyadap. Sementara, jika ucapan soal bukti itu tidak benar, berarti kubu Ahok melakukan kebohongan publik.

"Kalau itu benar, maka mereka bisa dijerat dengan pasal ITE karena jelas mereka bukan KPK dan bukan BIN. Bagaimana mereka punya sadapan itu? Tapi kalau mereka tidak benar, berarti mereka meakukan kebohongan publik," tegasnya.

Tak hanya Hidayat, Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Gerindra, Elnino Husein Mohi mengatakan, penyadapan tidak boleh dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki wewenang sesuai Undang-Undang. Menurutnya, lembaga negara yang berhak melakukan penyadapan adalah BIN, BAIS dan KPK.

"Lembaga yang boleh nyadap misalnya BIN, BAIS (UU intelijen), KPK (UU anti korupsi/KPK). Tidak dibenarkan menyadap selain lembaga yang diizinkan oleh UU," kata El Nino saat dihubungi merdeka.com, Jumat (3/2).

Penyadapan yang dilakukan oleh lembaga yang diatur UU dinilai sebagai pelanggaran kontitusional, hukum, etika dan moral. Hal ini berbeda dengan pernyataan politisi PDIP Junimart Girsang yang menyebut penyadapan diperbolehkan jika tidak digunakan untuk melakukan kejahatan.

"Yang pasti yang boleh melakukan penyadapan hanya lembaga tertentu untuk kepentingan tertentu. Selain itu adalah pelanggaran konstitusional, pelanggaran hukum (kriminal), pelanggaran etika dan moral," tegasnya.  [Mdk/Sujanews.com]