Papa Minta Saham cuma Pencitraan, Indonesia tetap Kalah sama FREEPORT

Papa Minta Saham cuma Pencitraan, Indonesia tetap Kalah sama FREEPORT

SujaNEWS.com —  Pemerintah Indonesia kalah telak terhadap PT Freeport dalam hal pelarangan ekspor konsentrat dan pembangunan smelter atas perintah UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba.

‎Manajer Advokasi FITRA, Apung Widadi mengatakan, ‎langkah Menteri ESDM, Sudirman Said yang mengeluarkan izin ekspor konsentrat tanpa ada uang jaminan pembangunan smelter sebesar USD 530 juta, ditambah bea keluar sebesar 5 persen berkemungkinan juga tidak akan dipenuhi oleh Freeport.

"Indonesia kalah pada Freeport, posisi tawar Indonesia lemah, hasil ini menunjukkan karena pengambil kebijakan mengutamakan kepentingan personal dan kelompok sehingga mengalahkan kepentingan bangsa,” kata dia dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (17/2).

Apung sangat kecewa lantaran pemerintah Joko Widodo terlihat sangat mengedepankan pencitraan dalam kinerja.‎ "Artinya apa, ketika kemaren pemerintah mendorong kasus papa minta saham, sekarang dengan kenyataan ini, anti klimas dan tidak menyentuh akar subtansi, hanya pencitraan saja, dalam subtansi kepentingan tetap kalah, dimana posisi Menteri ESDM ini tidak menjaga kedaulatan,” kata Apung.

‎ Menteri ESDM, Sudirman Said sebelumnya telah mengeluarkan izin ekspor konsentra tanpa ada uang jaminan pembangunan smelter sebesar USD 530 juta.‎ Uang jaminan tersebut merupakan sebagai komitmen Freeport untuk membangun smelter dalam rangka memenuhi perintah UU Minerba, namun hingga kini pihak Freeport belum membangun smelter dan menolak membayar uang jaminan.

Padahal diketahui bahwa kewajiban membangun smelter merupakan implementasi dari perintah UU No 4 tahun 2009 agar melakukan pemurnian terhadap barang galian (dengan membangun smelter) dalam upaya memberi nilai tambah bagi negara, dengan demikian tidak diperbolehkan ekspor konsentrat atau barang mentah.

‎Sesuai bunyi UU No 4 tahun 2009 pasal 170 berbunyi "Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.

Artinya, sejak UU tersebut ditetapkan tahun 2009, seharusnya Freeport telah memenuhi perintah UU dan membangun smelter dalam rangka pemurnian barang galian, paling lambat tahun 2014.‎ Disayangkan hingga sekarang Freeport belum membangun smelter dan terus menerus mengekspor konsentrat dan Indonesia mengalami kerugian. [sam]‎ ‎