SujaNEWS.com — Pemerintah Jokowi melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said mengeluarkan kebijakan terkait dana ketahanan energi yang diambil sebesar Rp200 dari harga premium per liter. Lalu Rp300 dari harga solar per liternya. Kebijakan tersebut akan berlaku 5 Januari 2016.
Diberitakan Viva.co.id, Selasa (29/12), Menteri Sudirman mengatakan dana ketahanan energi yang ditarik dari rakyat digunakan sebagian untuk bayar utang atas subsidi. Sebagian lagi untuk bantu daerah yang belum menikmati listrik.
“Ini kan bagian dari apa, iuran gitu. Jangan lupa sebagian untuk bayar utang karena sudah murah selama ini dan sebagian bantu saudara kita di 2.517 desa yang belum kebagian listrik,” kata Sudirman di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 29 Desember 2015.
Sudirman membantah penarikan dana yang per tahun mencapai Rp15-16 triliun dari rakyat tidak bisa dilakukan. Menurutnya banyak opsi yang bisa diambil.
“Ada opsinya banyak kok. Koperasi APBN bisa penyisihan kan sebetulnya, ujungnya ke konsumen juga,” kata Sudirman.
Banyaknya kritik terhadap kebijakan pemerintah yang mulai diterapkan 5 Januari 2016, Sudirman menyampaikan banyak terima kasih. Namun, kebijakan itu tetap dijalankannya.
“Kita sedang terus mendengar dari berbagai pihak, tentu dengan mengkaji apa yang terbaik. Yang beri pendapat kan banyak, bukan cuma Menteri ESDM,” ujar Sudirman.
Menurutnya, dasar hukum kebijakannya itu ada di Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 dan PP Nomor 79 tahun 2014. Aturan dari kebijakan ini akan keluar, apakah dalam bentuk Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden. Hanya memang harus sudah selesai sebelum diberlakukan 5 Januari 2016.
“Nanti kita lihat. Tentu harus konsultasi dengan Setneg,” katanya.
Terkait dengan kebijakan tersebut, sampai saat ini banyak pihak yang menilai pemerintah Jokowi sudah melanggar Undang-Undang, salah satunya pernyataan Yusril Ihza Mahendra.
Sementara itu, Ekonom senior Dradjad H Wibowo juga memberikan penilaian inisiatif pemerintah Jokowi tersebut tidaklah tepat.
“Kalau negara-negara demokrasi maju, ada pajak dan atau surcharge BBM. Misalkan untuk kurangi polusi. Bukan dana adhoc seperti ini,” ujar Dradjad kepada wartawan.
Diberitakan Viva.co.id, Selasa (29/12), Menteri Sudirman mengatakan dana ketahanan energi yang ditarik dari rakyat digunakan sebagian untuk bayar utang atas subsidi. Sebagian lagi untuk bantu daerah yang belum menikmati listrik.
“Ini kan bagian dari apa, iuran gitu. Jangan lupa sebagian untuk bayar utang karena sudah murah selama ini dan sebagian bantu saudara kita di 2.517 desa yang belum kebagian listrik,” kata Sudirman di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 29 Desember 2015.
Sudirman membantah penarikan dana yang per tahun mencapai Rp15-16 triliun dari rakyat tidak bisa dilakukan. Menurutnya banyak opsi yang bisa diambil.
“Ada opsinya banyak kok. Koperasi APBN bisa penyisihan kan sebetulnya, ujungnya ke konsumen juga,” kata Sudirman.
Banyaknya kritik terhadap kebijakan pemerintah yang mulai diterapkan 5 Januari 2016, Sudirman menyampaikan banyak terima kasih. Namun, kebijakan itu tetap dijalankannya.
“Kita sedang terus mendengar dari berbagai pihak, tentu dengan mengkaji apa yang terbaik. Yang beri pendapat kan banyak, bukan cuma Menteri ESDM,” ujar Sudirman.
Menurutnya, dasar hukum kebijakannya itu ada di Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 dan PP Nomor 79 tahun 2014. Aturan dari kebijakan ini akan keluar, apakah dalam bentuk Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden. Hanya memang harus sudah selesai sebelum diberlakukan 5 Januari 2016.
“Nanti kita lihat. Tentu harus konsultasi dengan Setneg,” katanya.
Terkait dengan kebijakan tersebut, sampai saat ini banyak pihak yang menilai pemerintah Jokowi sudah melanggar Undang-Undang, salah satunya pernyataan Yusril Ihza Mahendra.
Sementara itu, Ekonom senior Dradjad H Wibowo juga memberikan penilaian inisiatif pemerintah Jokowi tersebut tidaklah tepat.
“Kalau negara-negara demokrasi maju, ada pajak dan atau surcharge BBM. Misalkan untuk kurangi polusi. Bukan dana adhoc seperti ini,” ujar Dradjad kepada wartawan.