SujaNEWS.com — Tulisan ini akan disusun dengan metode dialog agar lebih menarik dan mudah difahami. Dalam buku TASAWUF SEBAGAI KRITIK SOSIAL, MENGEDEPANKAN ISLAM SEBAGAI INSPIRASI BUKAN ASPIRASI, terbitan resmi LTN PBNU, 2012, editor Ahmad Baso, halaman 309-310, SAS mengajak warga nahdliyyin yang menerima buku tersebut secara gratis untuk menjadi liberal dan murtad bersama-sama. Berikut dialognya:
SAS: Dalam Al-Quran, Allah kerap mengulang seruan “Ya ayuhalladzina amanu...”, Wahai orang-orang yang beriman, sebanyak tujuh puluh kali. Sementara seruan “Ya ayyuhalladzina aslamu...”, Wahai orang-orang Islam, tidak satu pun ditemukan dalam kitab suci umat Islam itu. Selain itu, di antara nama-nama dan asma-asma Allah yang berjumlah 99 itu salah satunya adalah “Al-Mu’min”. Dan tidak ada “Al-Muslim”, yang ada justru adalah “As-Salam”, Mahadamai, sebagai salah satu asma-Nya. Poin-poin ini menarik untuk dicermati dalam kaitannya dengan interaksi antar umat beragama, terutama antara umat Islam dan kaum Nasrani dalam mengelola kerukunan dan perbedaan di Indonesia.”
NU: Pernyataan SAS di atas sulit dinalar secara ilmiah. SAS hanya mengambil penggalan ayat, dan meninggalkan penggalan berikutnya. Lalu membuat kesimpulan yang luar biasa besar. Kejanggalan-kejanggalan dalam pernyataan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, asumsi SAS bahwa “Ya ayuhalladzina amanu...”, Wahai orang-orang yang beriman, sebanyak tujuh puluh kali, ada kaitannya dengan interaksi antar umat beragama, terutama antara umat Islam dan kaum Nasrani dalam mengelola kerukunan dan perbedaan di Indonesia, jelas salah dan tidak benar. Para ulama menjelaskan, seruan dengan “Ya ayuhalladzina amanu...”, adalah seruan pujian kepada penduduk Madinah, yaitu orang-orang yang beriman dan melakukan hijrah dari Makkah. Sedangkan kandungan seruan “Ya ayyuhalladzina amanu”, kebanyakan berkaitan dengan rincian-rincian syariat Islam (tafashil al-syari’ah), bukan syariat agama lain. (Lihat, al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an hlm 367). Bahkan kalau kita membaca ayat-ayat yang didahului dengan seruan “Ya ayyuhalladzina amanu”, sebagian justru bertolak belakang dengan aumsi SAS tentang toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Misalnya ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ. (آل عمران: 100).
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. (QS. Alu Imran : 100).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ. (آل عمران : 118).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS. Alu Imran : 118).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ. (آل عمران : 149).
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. (QS Alu-Imran : 149).
Ayat-ayat di atas dengan tegas menjelaskan tentang tata cara hubungan seorang Muslim dengan orang-orang kafir (Kristen, Yahudi dan lain-lain), dengan tidak mentaati kemauan mereka, dan tidak menjadikan mereka sebagai teman kepercayaan, karena akan mengakibatkan pihak Muslim menjadi orang-orang kafir dan merugi. Hal ini jelas bertentangan dengan kesimpulan SAS dalam bukunya, yang selalu berbicara Islam isklusif, toleran dan terbuka.
Kedua, asumsi SAS bahwa asma Allah “As-Salam” yang bermakna Mahadamai, dan “Al-Mu’min” (SAS tidak menjelaskan maknanya, entah apa alasannya), berkaitan dengan interaksi antar umat beragama, terutama antara umat Islam dan kaum Nasrani dalam mengelola kerukunan dan perbedaan di Indonesia, adalah salah dan tidak benar. Para ulama mengartikan asma As-Salam dengan makna Maha Selamat, maksudnya Allah selamat dari semua cela dan kekurangan. Al-Imam al-Baihaqi berkata dalam kitabnya, al-I’tiqad wa al-Hidayah ila Sabil al-Rasyad sebagai berikut:
السَّلاَمُ: هُوَ الَّذِي سَلِمَ مِنْ كُلِّ عَيْبٍ، وَبَرِئَ مِنْ كُلِّ آفَةٍ، وَهَذِهِ صِفَةٌ يَسْتَحِقُّهَا بِذَاتِهِ، وَقِيلَ: هُوَ الَّذِي سَلِمَ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ عُقُوبَتِهِ.
As-Salam, Maha Selamat, adalah yang selamat dari setiap cela dan bebas dari setiap gangguan. Ini adalah sifat yang dimiliki Allah dengan Dzat-Nya. Ada pula yang mengatakan, As-Salam adalah Dia yang orang-orang beriman selamat dari siksa-Nya. (Al-Baihaqi, al-I’tiqad, hlm 49).
Pernyataan serupa juga dijelaskan dalam kitab al-Asma’ wa al-Shifat, hlm 49. Walhasil, makna asma Allah As-Salam tidak kaitannya dengan interaksi dan kerukunan antar umat beragama.
Ketiga, asumsi SAS bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada seruan, “Ya ayyuhalladzia aslamu”, Wahai orang-orang Islam, ada kaitannya dengan interaksi dan kerukunan antar umat beragama, juga salah dan tidak benar. SAS tidak mengerti, bahwa penggunaan seruan “Ya ayyuhalladzina amanu”, tidak dengan seruan “Ya ayyuhalladzia aslamu”, adalah sebagai seruan pujian dari Allah kepada penduduk Madinah, yaitu orang-orang yang beriman dan telah melakukan hijrah. Al-Imam al-Zarkasyi berkata:
الثامن: خطاب المدح نحو: (يا أيها الذين آمنوا) وَهَذَا وَقَعَ خِطَابًا لأَهْلِ الْمَدِينَةِ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا تَمْيِيزًا لَهُمْ عَنْ أَهْلِ مَكَّةَ وَقَدْ سبق أن كل آية فيها: (يا أيها الناس) لأَهْلِ مَكَّةَ وَحِكْمَةُ ذَلِكَ أَنَّهُ يَأْتِي بَعْدَ (يا أيها الناس) الأمر بأصل الإيمان ويأتي بعد (يا أيها الَّذِينَ آمَنُوا) الأَمْرُ بِتَفَاصِيلِ الشَّرِيعَةِ وَإِنْ جَاءَ بَعْدَهَا الْأَمْرُ بِالإِيمَانِ كَانَ مِنْ قَبِيلِ الأَمْرِ بِالاسْتِصْحَابِ
Kedelapan, seruan pujian, seperti seruan “Ya ayyuhalladzia amanu”. Seruan ini terjadi sebagai khitab kepada penduduk Madinah, yaitu mereka yang beriman dan melakukan hijrah, untuk membedakan mereka dengan penduduk Makkah. Dan telah berlalu, bahwa setiap ayat yang mengandung seruan “Ya ayyuhannasu”, itu bagi penduduk Makkah. Hikmah demikian tersebut, setelah seruan “Ya ayyuhannasu”, terdapat perintah dengan pokok keimanan. Sedangkan setelah seruan “Ya ayyuhalladzina amanu”, terdapat perintah dengan rincian-rincian syariat. Dan apabila sesudahnya ada perintah dengan keimanan, maka hal ini termasuk dalam konteks perintah melanjutkan keimanannya. (Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, juz 2 hlm 229).
Paparan Imam al-Zarkasyi di atas memberikan kesimpulan bahwa seruan “Ya ayyuhalladzia amanu” adalah seruan pujian kepada orang yang beriman. Sedangkan pernyataan SAS bahwa seruan “Ya ayyuhalladzia amanu” dan makna asma “As-Salam”, berkaitan dengan toleransi dan kerukunan antar umat beragama, jelas termasuk penafsiran yang batil, yang didasarkan dengan pendapat subyektif yang keliru. Penafsiran semacam ini hukumnya berdosa dan haram berdasarkan hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ " رواه أحمد والترمذي وحسنه والنسائي وصححه ابن القطان.
Dari Ibnu Abbas, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang berkata mengenai al-Qur’an dengan tanpa ilmu, maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Tirmidzi dan shahih oleh Ibn al-Qaththan).
SAS: Allah sebagai Rabbul ‘alamin, penguasa alam semesta dan seisinya, mengajarkan umat-Nya untuk menjadi umat yang inklusif, toleran dan terbuka. Hakikat keimanan mencakup berbagai macam keimanan dan kepercayaan. Keimanan pada hakikatnya lebih inklusif daripada keislaman. Ayat yang dikutip di atas mengingatkan kita, bahwa umat beriman itu bukanlah monopoli umat Islam. Baik kaum Yahudi, Kristiani, Shabi’in, penganut Budha, Hindu, Konghuchu, maupun kepercayaan lainnya, semuanya adalah umat beriman – sepanjang dalam keyakinan mereka terselip butir-butir keimanan kepada Allah, Tuhan, Sang Hyang Widi atau apa pun namanya. (Hlm 309-310).
NU: Pernyataan SAS di atas mengandung beberapa kesalahan dan kebatilan yang perlu dicermati dengan penjelasan sebagai berikut:
Pertama, pernyataan SAS, bahwa “Allah sebagai Rabbul ‘alamin, penguasa alam semesta dan seisinya, mengajarkan umat-Nya untuk menjadi umat yang inklusif, toleran dan terbuka”. Pertanyaan kami, di mana Allah menjelaskan bahwa umat-Nya harus menjadi umat yang inklusif, toleran dan terbuka? Lalu apa pula yang dimaksud dengan inklusif, toleran dan terbuka? Apakah dengan menerima pengikut semua kepercayaan sebagai bagian dari kaum yang beriman, sebagaimana SAS jelaskan pada redaksi berikutnya? Lalu bagaimana hubungan pernyataan SAS tersebut dengan ayat-ayat berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الإيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (التوبة : 23).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS al-Taubah : 23).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (المائدة : 51).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim. (QS al-Maidah : 51).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (التوبة : 123).
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS al-Taubah : 123).
Dengan ayat-ayat di atas, dan ayat-ayat lain yang tidak kami sebutkan di sini, bagaimana SAS menghubungkan pernyataannya bahwa Allah mengajarkan umat Islam agar menjadi umat yang inklusif, toleran dan terbuka dengan perintah memerangi orang-orang kafir, dan tidak menjadikan mereka sebagai pemimpin kaum beriman? Bukankah berarti SAS telah berbohong atas nama Allah? Lalu bagaimana pula konsep SAS tersebut, jika dikaitkan dengan pernyataan para ulama fuqaha dalam hal interaksi dengan pengikut agama lain sebagai berikut ini?
قَالُوْا أَيْ أَئِمَّتُنَا: وَيَحْرُمُ مُوَادَّةُ الْكَافِرِ بِالْقَلْبِ وَيُكْرَهُ بِالظَّاهِرِ، وَقِيَاسُهُ أَنَّهُ يَحْرُمُ مُوَادَّةُ الْفَاسِقِ وَالْمُبْتَدِعِ بِالْقَلْبِ إِلاَّ لِغَرَضٍ صَالِحٍ كَكَوْنِهِ قَرِيْبًا وَكَظَنِّ هِدَايَتِهِ وَكَالنَّظَرِ إِلىَ مِنَّةِ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِ بِاْلإِسْلاَمِ وَتَوْفِيْقِهِ لَهُ. (ابن حجر الهيتمي، أسنى المطالب في صلة الأقارب، ص 137).
Para imam kami berkata: Haram hukumnya bersahabat dengan orang kafir dengan hati, dan makruh dengan lahiriah. Analoginya, haram pula bersahabat dengan orang fasik dan ahli bid’ah dengan hati, kecuali karena tujuan yang baik, seperti dengan kerabat, atau dugaan kuat ia memperoleh hidayah, dan seperti melihat pemberian dan pertolongan Allah kepadanya dengan Islam. (Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Asna al-Mathalib fi Shilat al-Aqarib, hlm 237).
Dalam pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami, bersahabat dengan penganut agama lain, apabila dengan hati maka hukumnya haram, tapi apabila secara lahiriah saja, maka hukumnya makruh, sejalan dengan ayat-ayat al-Qur’an di atas. Sementara menurut SAS, Allah mengajarkan umat Islam bersikap inklusif, toleran dan terbuka, dengan menganggap mereka seagama dan seiman dengan kita. Dengan demikian, siapakah yang berhak diikuti, al-Qur’an dan pernyataan para ulama, atau justru SAS?
Kedua, pernyataan SAS bahwa “Hakikat keimanan mencakup berbagai macam keimanan dan kepercayaan. Keimanan pada hakikatnya lebih inklusif daripada keislaman”, melahirkan beberapa pertanyaan. Dengan pernyataan tersebut, bukankah berarti SAS berpendapat bahwa semua orang yang memiliki keimanan dan kepercayaan kepada apa pun dikatakan sebagai umat yang beriman, dengan hakikat keimanan? Bukankah dengan demikian, penganut semua agama dan kepercayaan termasuk orang-orang yang beriman dan bukan orang kafir? Benarkah pernyataan SAS tersebut, yang mengatakan bahwa hakikat keimanan adalah keimanan dan kepercayaan apa saja? Lalu bagaimana hubungan pernyataan SAS dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berdialog dengan Malaikat Jibril dalam hadits berikut:
عن عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ فقَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيمَانِ، قَالَ: «أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ»، قَالَ: صَدَقْتَ. رواه مسلم
Dari Umar bin al-Khaththab berkata: “Ketika kamu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari, tiba-tiba seorang laki-laki muncul kepada kami, lalu berkata kepada beliau: “Ceritakan kepadaku tentang keimanan!” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Hendaknya kamu beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah, para rasul, hari kiamat dan ketentuan Allah, yang baik dan yang buruk.” Lalu laki-laki tersebut berkata: “Anda benar.” (HR. Muslim).
Para ulama juga mendefinisikan keimanan sebagai berikut:
وَاْلإِيْمَانُ لُغَةً مُطْلَقُ التَّصْدِيْقِ، وَاصْطِلاَحًا تَصْدِيْقُ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا جَاءَ بِهِ مِمَّا عُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ ضَرُوْرَةً كَالصَّلاَةِ وَالصِّيَامِ وَالزَّكَاةِ وَالْحَجِّ. (شرح الصاوي على جوهرة التوحيد، 130).
Iman secara bahasa adalah membenarkan atau percaya secara mutlak. Sedangkan secara istilah adalah membenarkan atau percaya kepada Nabi shallallahu dalam apa yang dibawanya dari ajaran-ajaran yang diketahui dari agama secara pasti seperti shalat, puasa, zakat dan haji. (Syarh al-Shawi ‘ala Jauharah al-Tauhid, hlm 130).
Redaksi hadits dan pernyataan ulama di atas, tentang keimanan, memberikan kesimpulan bahwa yang namanya imam secara hakiki atau hakikat keimanan, bukanlah percaya dan beriman kepada apa saja. Akan tetapi beriman dan percaya kepada ajaran-ajaran agama yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diketahui dari agama secara pasti. Oleh karena itu, penganut agama lain atau kepercayaan di luar Islam, meskipun memiliki kepercayaan terhadap ajaran masing-masing, dalam konteks Islam, bukan termasuk orang beriman, akan tetapi termasuk orang-orang kafir. Bahkan orang yang meragukan kekafiran penganut agama dan kepercayaan di luar Islam, dihukumi murtad dan kafir. Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam sebagai berikut:
أَنَّ مَنْ لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ بِغَيْرِ اْلإِسْلاَمِ كَالنَّصَارَى أَوْ شَكَّ فِيْ تَكْفِيْرِهِمْ أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ فَهُوَ كَافِرٌ وَإِنْ أَظْهَرَ مَعَ ذَلِكَ اْلإِسْلاَمَ وَاعْتَقَدَهُ. (ابن حجر الهيتمي، الإعلام بقواطع الإسلام، ص 237).
Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang yang beragama selain Islam seperti orang-orang Kristiani, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan ajaran mereka, maka dia adalah orang kafir, meskipun ia menampakkan keislaman dan meyakininya. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam, hlm 237, dan al-Qadhi Iyadh, al-Syifa bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa, hlm 851).
Dengan paparan di atas, serta pernyataan SAS sebelumnya, apakah SAS dihukumi murtad dan kafir, atau tidak? Saya kira pembaca dapat menjawab dengan pikiran yang jernih.
Ketiga, pernyataan SAS berikut ini, “Ayat yang dikutip di atas mengingatkan kita, bahwa umat beriman itu bukanlah monopoli umat Islam”, menimbulkan kontroversi. Ayat yang dimaksudkan oleh SAS tersebut adalah dua ayat berikut ini:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS al-Baqarah : 62).
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS al-Maidah : 69).
Kedua ayat tersebut, oleh kaum liberal termasuk SAS diartikan sebagai pengakuan atas keimanan semua penganut agama dan kepercayaan apapun. Sementara para ulama ahli tafsir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kedua ayat tersebut adalah, bahwa orang-orang yang beriman kepada para nabi terdahulu, orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh serta beriman dan mengikuti agama Islam setelah Islam datang, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Setelah Islam datang, maka jelas tidak ada pengakuan dan pembenaran terhadap agama lain, termasuk agama Yahudi, Nasrani dan kepercayaan lainnya. Hal ini didasarkan pada ayat:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Alu-Imran : 85).
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الإسْلامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS Alu-Imran : 19).
فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ
Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (QS al-An’am : 125).
Dalam ayat-ayat di atas ditegaskan bahwa agama yang diterima oleh Allah hanyalah agama Islam, sedangkan orang-orang di luar Islam setelah datangnya Islam, adalah orang-orang yang tidak beriman dan orang-orang kafir. Dalam hadits shahih diriwayatkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ». رواه مسلم.
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam kekuasaan-Nya, tidaklah seseorang mendengar tentang aku dari umat ini, orang Yahudi dan Nasrani, kemudian meninggal dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus membawanya, kecuali orang tersebut pasti termasuk penduduk neraka.” (HR Muslim [240]).
Hadits ini menegaskan bahwa penganut agama atau kepercayaan apapun yang tidak beriman kepada apa yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah datangnya Islam, jelas akan masuk ke dalam neraka.
Keeempat, pernyataan SAS, bahwa “Baik kaum Yahudi, Kristiani, Shabi’in, penganut Budha, Hindu, Konghuchu, maupun kepercayaan lainnya, semuanya adalah umat beriman – sepanjang dalam keyakinan mereka terselip butir-butir keimanan kepada Allah, Tuhan, Sang Hyang Widi atau apa pun namanya. (Hlm 309-310).” jelas bertentangan dengan hakikat keimanan yang diterangkan dalam al-Qur’an, hadits dan kitab-kitab para ulama. Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam sebagai berikut:
أَنَّ مَنْ لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ بِغَيْرِ اْلإِسْلاَمِ كَالنَّصَارَى أَوْ شَكَّ فِيْ تَكْفِيْرِهِمْ أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ فَهُوَ كَافِرٌ وَإِنْ أَظْهَرَ مَعَ ذَلِكَ اْلإِسْلاَمَ وَاعْتَقَدَهُ. (ابن حجر الهيتمي، الإعلام بقواطع الإسلام، ص 237).
Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang yang beragama selain Islam seperti orang-orang Kristiani, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan ajaran mereka, maka dia adalah orang kafir, meskipun ia menampakkan keislaman dan meyakininya. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam, hlm 237, dan al-Qadhi Iyadh, al-Syifa bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa, hlm 851).
Beberapa waktu yang lalu, di sela-sela acara muktamar di Jombang, kami dikunjungi oleh beberapa ulama sepuh, antara lain Waleed Nu, panggilan akrab KH Nuruzzahri, Rais Syuriyah PWNU Aceh. Ketika beliau saya sodorkan buku SAS, halaman 309, beliau terkejut dan secara spontan mengatakan bahwa SAS telah murtad. Kemudian pada hari berikutnya, kami juga dikunjungi oleh Tuan Guru Khoiri, panggilan akrab KH Khoiri Adnan, seorang ulama sepuh yang sudah sakit-sakitan dan sekaligus Rais Syuriyah PWNU Nusa Tenggara Barat. Ketika beliau kami sodorkan buku SAS halaman 309, beliau dengan nada tinggi langsung mengatakan SAS telah murtad, ini perkataan orang yang murtad.
Muhammad Idrus Ramli
Bersambung ...
SAS: Dalam Al-Quran, Allah kerap mengulang seruan “Ya ayuhalladzina amanu...”, Wahai orang-orang yang beriman, sebanyak tujuh puluh kali. Sementara seruan “Ya ayyuhalladzina aslamu...”, Wahai orang-orang Islam, tidak satu pun ditemukan dalam kitab suci umat Islam itu. Selain itu, di antara nama-nama dan asma-asma Allah yang berjumlah 99 itu salah satunya adalah “Al-Mu’min”. Dan tidak ada “Al-Muslim”, yang ada justru adalah “As-Salam”, Mahadamai, sebagai salah satu asma-Nya. Poin-poin ini menarik untuk dicermati dalam kaitannya dengan interaksi antar umat beragama, terutama antara umat Islam dan kaum Nasrani dalam mengelola kerukunan dan perbedaan di Indonesia.”
NU: Pernyataan SAS di atas sulit dinalar secara ilmiah. SAS hanya mengambil penggalan ayat, dan meninggalkan penggalan berikutnya. Lalu membuat kesimpulan yang luar biasa besar. Kejanggalan-kejanggalan dalam pernyataan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, asumsi SAS bahwa “Ya ayuhalladzina amanu...”, Wahai orang-orang yang beriman, sebanyak tujuh puluh kali, ada kaitannya dengan interaksi antar umat beragama, terutama antara umat Islam dan kaum Nasrani dalam mengelola kerukunan dan perbedaan di Indonesia, jelas salah dan tidak benar. Para ulama menjelaskan, seruan dengan “Ya ayuhalladzina amanu...”, adalah seruan pujian kepada penduduk Madinah, yaitu orang-orang yang beriman dan melakukan hijrah dari Makkah. Sedangkan kandungan seruan “Ya ayyuhalladzina amanu”, kebanyakan berkaitan dengan rincian-rincian syariat Islam (tafashil al-syari’ah), bukan syariat agama lain. (Lihat, al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an hlm 367). Bahkan kalau kita membaca ayat-ayat yang didahului dengan seruan “Ya ayyuhalladzina amanu”, sebagian justru bertolak belakang dengan aumsi SAS tentang toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Misalnya ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ. (آل عمران: 100).
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. (QS. Alu Imran : 100).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ. (آل عمران : 118).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS. Alu Imran : 118).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ. (آل عمران : 149).
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. (QS Alu-Imran : 149).
Ayat-ayat di atas dengan tegas menjelaskan tentang tata cara hubungan seorang Muslim dengan orang-orang kafir (Kristen, Yahudi dan lain-lain), dengan tidak mentaati kemauan mereka, dan tidak menjadikan mereka sebagai teman kepercayaan, karena akan mengakibatkan pihak Muslim menjadi orang-orang kafir dan merugi. Hal ini jelas bertentangan dengan kesimpulan SAS dalam bukunya, yang selalu berbicara Islam isklusif, toleran dan terbuka.
Kedua, asumsi SAS bahwa asma Allah “As-Salam” yang bermakna Mahadamai, dan “Al-Mu’min” (SAS tidak menjelaskan maknanya, entah apa alasannya), berkaitan dengan interaksi antar umat beragama, terutama antara umat Islam dan kaum Nasrani dalam mengelola kerukunan dan perbedaan di Indonesia, adalah salah dan tidak benar. Para ulama mengartikan asma As-Salam dengan makna Maha Selamat, maksudnya Allah selamat dari semua cela dan kekurangan. Al-Imam al-Baihaqi berkata dalam kitabnya, al-I’tiqad wa al-Hidayah ila Sabil al-Rasyad sebagai berikut:
السَّلاَمُ: هُوَ الَّذِي سَلِمَ مِنْ كُلِّ عَيْبٍ، وَبَرِئَ مِنْ كُلِّ آفَةٍ، وَهَذِهِ صِفَةٌ يَسْتَحِقُّهَا بِذَاتِهِ، وَقِيلَ: هُوَ الَّذِي سَلِمَ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ عُقُوبَتِهِ.
As-Salam, Maha Selamat, adalah yang selamat dari setiap cela dan bebas dari setiap gangguan. Ini adalah sifat yang dimiliki Allah dengan Dzat-Nya. Ada pula yang mengatakan, As-Salam adalah Dia yang orang-orang beriman selamat dari siksa-Nya. (Al-Baihaqi, al-I’tiqad, hlm 49).
Pernyataan serupa juga dijelaskan dalam kitab al-Asma’ wa al-Shifat, hlm 49. Walhasil, makna asma Allah As-Salam tidak kaitannya dengan interaksi dan kerukunan antar umat beragama.
Ketiga, asumsi SAS bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada seruan, “Ya ayyuhalladzia aslamu”, Wahai orang-orang Islam, ada kaitannya dengan interaksi dan kerukunan antar umat beragama, juga salah dan tidak benar. SAS tidak mengerti, bahwa penggunaan seruan “Ya ayyuhalladzina amanu”, tidak dengan seruan “Ya ayyuhalladzia aslamu”, adalah sebagai seruan pujian dari Allah kepada penduduk Madinah, yaitu orang-orang yang beriman dan telah melakukan hijrah. Al-Imam al-Zarkasyi berkata:
الثامن: خطاب المدح نحو: (يا أيها الذين آمنوا) وَهَذَا وَقَعَ خِطَابًا لأَهْلِ الْمَدِينَةِ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا تَمْيِيزًا لَهُمْ عَنْ أَهْلِ مَكَّةَ وَقَدْ سبق أن كل آية فيها: (يا أيها الناس) لأَهْلِ مَكَّةَ وَحِكْمَةُ ذَلِكَ أَنَّهُ يَأْتِي بَعْدَ (يا أيها الناس) الأمر بأصل الإيمان ويأتي بعد (يا أيها الَّذِينَ آمَنُوا) الأَمْرُ بِتَفَاصِيلِ الشَّرِيعَةِ وَإِنْ جَاءَ بَعْدَهَا الْأَمْرُ بِالإِيمَانِ كَانَ مِنْ قَبِيلِ الأَمْرِ بِالاسْتِصْحَابِ
Kedelapan, seruan pujian, seperti seruan “Ya ayyuhalladzia amanu”. Seruan ini terjadi sebagai khitab kepada penduduk Madinah, yaitu mereka yang beriman dan melakukan hijrah, untuk membedakan mereka dengan penduduk Makkah. Dan telah berlalu, bahwa setiap ayat yang mengandung seruan “Ya ayyuhannasu”, itu bagi penduduk Makkah. Hikmah demikian tersebut, setelah seruan “Ya ayyuhannasu”, terdapat perintah dengan pokok keimanan. Sedangkan setelah seruan “Ya ayyuhalladzina amanu”, terdapat perintah dengan rincian-rincian syariat. Dan apabila sesudahnya ada perintah dengan keimanan, maka hal ini termasuk dalam konteks perintah melanjutkan keimanannya. (Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, juz 2 hlm 229).
Paparan Imam al-Zarkasyi di atas memberikan kesimpulan bahwa seruan “Ya ayyuhalladzia amanu” adalah seruan pujian kepada orang yang beriman. Sedangkan pernyataan SAS bahwa seruan “Ya ayyuhalladzia amanu” dan makna asma “As-Salam”, berkaitan dengan toleransi dan kerukunan antar umat beragama, jelas termasuk penafsiran yang batil, yang didasarkan dengan pendapat subyektif yang keliru. Penafsiran semacam ini hukumnya berdosa dan haram berdasarkan hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ " رواه أحمد والترمذي وحسنه والنسائي وصححه ابن القطان.
Dari Ibnu Abbas, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang berkata mengenai al-Qur’an dengan tanpa ilmu, maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Tirmidzi dan shahih oleh Ibn al-Qaththan).
SAS: Allah sebagai Rabbul ‘alamin, penguasa alam semesta dan seisinya, mengajarkan umat-Nya untuk menjadi umat yang inklusif, toleran dan terbuka. Hakikat keimanan mencakup berbagai macam keimanan dan kepercayaan. Keimanan pada hakikatnya lebih inklusif daripada keislaman. Ayat yang dikutip di atas mengingatkan kita, bahwa umat beriman itu bukanlah monopoli umat Islam. Baik kaum Yahudi, Kristiani, Shabi’in, penganut Budha, Hindu, Konghuchu, maupun kepercayaan lainnya, semuanya adalah umat beriman – sepanjang dalam keyakinan mereka terselip butir-butir keimanan kepada Allah, Tuhan, Sang Hyang Widi atau apa pun namanya. (Hlm 309-310).
NU: Pernyataan SAS di atas mengandung beberapa kesalahan dan kebatilan yang perlu dicermati dengan penjelasan sebagai berikut:
Pertama, pernyataan SAS, bahwa “Allah sebagai Rabbul ‘alamin, penguasa alam semesta dan seisinya, mengajarkan umat-Nya untuk menjadi umat yang inklusif, toleran dan terbuka”. Pertanyaan kami, di mana Allah menjelaskan bahwa umat-Nya harus menjadi umat yang inklusif, toleran dan terbuka? Lalu apa pula yang dimaksud dengan inklusif, toleran dan terbuka? Apakah dengan menerima pengikut semua kepercayaan sebagai bagian dari kaum yang beriman, sebagaimana SAS jelaskan pada redaksi berikutnya? Lalu bagaimana hubungan pernyataan SAS tersebut dengan ayat-ayat berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الإيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (التوبة : 23).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS al-Taubah : 23).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (المائدة : 51).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim. (QS al-Maidah : 51).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (التوبة : 123).
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS al-Taubah : 123).
Dengan ayat-ayat di atas, dan ayat-ayat lain yang tidak kami sebutkan di sini, bagaimana SAS menghubungkan pernyataannya bahwa Allah mengajarkan umat Islam agar menjadi umat yang inklusif, toleran dan terbuka dengan perintah memerangi orang-orang kafir, dan tidak menjadikan mereka sebagai pemimpin kaum beriman? Bukankah berarti SAS telah berbohong atas nama Allah? Lalu bagaimana pula konsep SAS tersebut, jika dikaitkan dengan pernyataan para ulama fuqaha dalam hal interaksi dengan pengikut agama lain sebagai berikut ini?
قَالُوْا أَيْ أَئِمَّتُنَا: وَيَحْرُمُ مُوَادَّةُ الْكَافِرِ بِالْقَلْبِ وَيُكْرَهُ بِالظَّاهِرِ، وَقِيَاسُهُ أَنَّهُ يَحْرُمُ مُوَادَّةُ الْفَاسِقِ وَالْمُبْتَدِعِ بِالْقَلْبِ إِلاَّ لِغَرَضٍ صَالِحٍ كَكَوْنِهِ قَرِيْبًا وَكَظَنِّ هِدَايَتِهِ وَكَالنَّظَرِ إِلىَ مِنَّةِ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِ بِاْلإِسْلاَمِ وَتَوْفِيْقِهِ لَهُ. (ابن حجر الهيتمي، أسنى المطالب في صلة الأقارب، ص 137).
Para imam kami berkata: Haram hukumnya bersahabat dengan orang kafir dengan hati, dan makruh dengan lahiriah. Analoginya, haram pula bersahabat dengan orang fasik dan ahli bid’ah dengan hati, kecuali karena tujuan yang baik, seperti dengan kerabat, atau dugaan kuat ia memperoleh hidayah, dan seperti melihat pemberian dan pertolongan Allah kepadanya dengan Islam. (Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Asna al-Mathalib fi Shilat al-Aqarib, hlm 237).
Dalam pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami, bersahabat dengan penganut agama lain, apabila dengan hati maka hukumnya haram, tapi apabila secara lahiriah saja, maka hukumnya makruh, sejalan dengan ayat-ayat al-Qur’an di atas. Sementara menurut SAS, Allah mengajarkan umat Islam bersikap inklusif, toleran dan terbuka, dengan menganggap mereka seagama dan seiman dengan kita. Dengan demikian, siapakah yang berhak diikuti, al-Qur’an dan pernyataan para ulama, atau justru SAS?
Kedua, pernyataan SAS bahwa “Hakikat keimanan mencakup berbagai macam keimanan dan kepercayaan. Keimanan pada hakikatnya lebih inklusif daripada keislaman”, melahirkan beberapa pertanyaan. Dengan pernyataan tersebut, bukankah berarti SAS berpendapat bahwa semua orang yang memiliki keimanan dan kepercayaan kepada apa pun dikatakan sebagai umat yang beriman, dengan hakikat keimanan? Bukankah dengan demikian, penganut semua agama dan kepercayaan termasuk orang-orang yang beriman dan bukan orang kafir? Benarkah pernyataan SAS tersebut, yang mengatakan bahwa hakikat keimanan adalah keimanan dan kepercayaan apa saja? Lalu bagaimana hubungan pernyataan SAS dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berdialog dengan Malaikat Jibril dalam hadits berikut:
عن عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ فقَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيمَانِ، قَالَ: «أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ»، قَالَ: صَدَقْتَ. رواه مسلم
Dari Umar bin al-Khaththab berkata: “Ketika kamu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari, tiba-tiba seorang laki-laki muncul kepada kami, lalu berkata kepada beliau: “Ceritakan kepadaku tentang keimanan!” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Hendaknya kamu beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah, para rasul, hari kiamat dan ketentuan Allah, yang baik dan yang buruk.” Lalu laki-laki tersebut berkata: “Anda benar.” (HR. Muslim).
Para ulama juga mendefinisikan keimanan sebagai berikut:
وَاْلإِيْمَانُ لُغَةً مُطْلَقُ التَّصْدِيْقِ، وَاصْطِلاَحًا تَصْدِيْقُ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا جَاءَ بِهِ مِمَّا عُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ ضَرُوْرَةً كَالصَّلاَةِ وَالصِّيَامِ وَالزَّكَاةِ وَالْحَجِّ. (شرح الصاوي على جوهرة التوحيد، 130).
Iman secara bahasa adalah membenarkan atau percaya secara mutlak. Sedangkan secara istilah adalah membenarkan atau percaya kepada Nabi shallallahu dalam apa yang dibawanya dari ajaran-ajaran yang diketahui dari agama secara pasti seperti shalat, puasa, zakat dan haji. (Syarh al-Shawi ‘ala Jauharah al-Tauhid, hlm 130).
Redaksi hadits dan pernyataan ulama di atas, tentang keimanan, memberikan kesimpulan bahwa yang namanya imam secara hakiki atau hakikat keimanan, bukanlah percaya dan beriman kepada apa saja. Akan tetapi beriman dan percaya kepada ajaran-ajaran agama yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diketahui dari agama secara pasti. Oleh karena itu, penganut agama lain atau kepercayaan di luar Islam, meskipun memiliki kepercayaan terhadap ajaran masing-masing, dalam konteks Islam, bukan termasuk orang beriman, akan tetapi termasuk orang-orang kafir. Bahkan orang yang meragukan kekafiran penganut agama dan kepercayaan di luar Islam, dihukumi murtad dan kafir. Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam sebagai berikut:
أَنَّ مَنْ لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ بِغَيْرِ اْلإِسْلاَمِ كَالنَّصَارَى أَوْ شَكَّ فِيْ تَكْفِيْرِهِمْ أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ فَهُوَ كَافِرٌ وَإِنْ أَظْهَرَ مَعَ ذَلِكَ اْلإِسْلاَمَ وَاعْتَقَدَهُ. (ابن حجر الهيتمي، الإعلام بقواطع الإسلام، ص 237).
Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang yang beragama selain Islam seperti orang-orang Kristiani, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan ajaran mereka, maka dia adalah orang kafir, meskipun ia menampakkan keislaman dan meyakininya. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam, hlm 237, dan al-Qadhi Iyadh, al-Syifa bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa, hlm 851).
Dengan paparan di atas, serta pernyataan SAS sebelumnya, apakah SAS dihukumi murtad dan kafir, atau tidak? Saya kira pembaca dapat menjawab dengan pikiran yang jernih.
Ketiga, pernyataan SAS berikut ini, “Ayat yang dikutip di atas mengingatkan kita, bahwa umat beriman itu bukanlah monopoli umat Islam”, menimbulkan kontroversi. Ayat yang dimaksudkan oleh SAS tersebut adalah dua ayat berikut ini:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS al-Baqarah : 62).
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS al-Maidah : 69).
Kedua ayat tersebut, oleh kaum liberal termasuk SAS diartikan sebagai pengakuan atas keimanan semua penganut agama dan kepercayaan apapun. Sementara para ulama ahli tafsir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kedua ayat tersebut adalah, bahwa orang-orang yang beriman kepada para nabi terdahulu, orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh serta beriman dan mengikuti agama Islam setelah Islam datang, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Setelah Islam datang, maka jelas tidak ada pengakuan dan pembenaran terhadap agama lain, termasuk agama Yahudi, Nasrani dan kepercayaan lainnya. Hal ini didasarkan pada ayat:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Alu-Imran : 85).
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الإسْلامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS Alu-Imran : 19).
فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ
Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (QS al-An’am : 125).
Baca Juga: Said Aqil Siradj Dan Pembusukan NU Dari Dalam
Dalam ayat-ayat di atas ditegaskan bahwa agama yang diterima oleh Allah hanyalah agama Islam, sedangkan orang-orang di luar Islam setelah datangnya Islam, adalah orang-orang yang tidak beriman dan orang-orang kafir. Dalam hadits shahih diriwayatkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ». رواه مسلم.
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam kekuasaan-Nya, tidaklah seseorang mendengar tentang aku dari umat ini, orang Yahudi dan Nasrani, kemudian meninggal dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus membawanya, kecuali orang tersebut pasti termasuk penduduk neraka.” (HR Muslim [240]).
Hadits ini menegaskan bahwa penganut agama atau kepercayaan apapun yang tidak beriman kepada apa yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah datangnya Islam, jelas akan masuk ke dalam neraka.
Keeempat, pernyataan SAS, bahwa “Baik kaum Yahudi, Kristiani, Shabi’in, penganut Budha, Hindu, Konghuchu, maupun kepercayaan lainnya, semuanya adalah umat beriman – sepanjang dalam keyakinan mereka terselip butir-butir keimanan kepada Allah, Tuhan, Sang Hyang Widi atau apa pun namanya. (Hlm 309-310).” jelas bertentangan dengan hakikat keimanan yang diterangkan dalam al-Qur’an, hadits dan kitab-kitab para ulama. Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam sebagai berikut:
أَنَّ مَنْ لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ بِغَيْرِ اْلإِسْلاَمِ كَالنَّصَارَى أَوْ شَكَّ فِيْ تَكْفِيْرِهِمْ أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ فَهُوَ كَافِرٌ وَإِنْ أَظْهَرَ مَعَ ذَلِكَ اْلإِسْلاَمَ وَاعْتَقَدَهُ. (ابن حجر الهيتمي، الإعلام بقواطع الإسلام، ص 237).
Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang yang beragama selain Islam seperti orang-orang Kristiani, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan ajaran mereka, maka dia adalah orang kafir, meskipun ia menampakkan keislaman dan meyakininya. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam, hlm 237, dan al-Qadhi Iyadh, al-Syifa bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa, hlm 851).
Beberapa waktu yang lalu, di sela-sela acara muktamar di Jombang, kami dikunjungi oleh beberapa ulama sepuh, antara lain Waleed Nu, panggilan akrab KH Nuruzzahri, Rais Syuriyah PWNU Aceh. Ketika beliau saya sodorkan buku SAS, halaman 309, beliau terkejut dan secara spontan mengatakan bahwa SAS telah murtad. Kemudian pada hari berikutnya, kami juga dikunjungi oleh Tuan Guru Khoiri, panggilan akrab KH Khoiri Adnan, seorang ulama sepuh yang sudah sakit-sakitan dan sekaligus Rais Syuriyah PWNU Nusa Tenggara Barat. Ketika beliau kami sodorkan buku SAS halaman 309, beliau dengan nada tinggi langsung mengatakan SAS telah murtad, ini perkataan orang yang murtad.
Muhammad Idrus Ramli
Bersambung ...