SujaNEWS.com — Alunan azan subuh di Masjid Al-Ikhlas di Jalan Agus Salim, Kota Pontianak, agak berbeda. Pasalnya, ada beberapa huruf yang terdengar cadel dilafazkan muazin alias pengumandang azan. Suasana masjid masih sepi pada Kamis, 25 Juni 2015, itu.
Masjid itu berada di kawasan pecinan Kota Pontianak. Jemaah masjid saat subuh kebanyakan para pekerja di seputar pertokoan, penjaga keamanan, dan beberapa jemaah yang sengaja safari dari masjid ke masjid.
Usai salat, sang muazin menyalami beberapa jamaah, terutama kepada bukan jemaah tetap masjid. Wajahnya berseri-seri. "Dulu saya sangat membenci suara adzan. Sepertinya selalu ada di telinga saya," kata Muhammad Siddiq, si muazin, mengenang kisahnya.
Siddiq adalah warga Jalan Siam, kawasan Jalan Gajah Mada, Kota Pontianak. Daerah tersebut merupakan kawasan pecinan. Siddiq sebelumnya bernama A Hua. Dia berkisah, dulu ia sosok temperamental. Istri dan anaknya kerap menjadi korban kekerasannya. Hingga suatu saat usahanya di bidang jual-beli sepeda motor pailit.
Siddiq putus asa. Di tengah kesedihan dan kemarahannya, dia mendengar suara azan. Kali ini suara azan itu tak seperti biasanya. Tidak lagi membuatnya risau. Bahkan menyebabkan air matanya meleleh tanpa sadar. "Saya lalu minta mendatangi seorang teman. Dia yang membimbing saya masuk Islam," katanya.
Kepercayaan barunya ini membuat masalah besar di keluarga. "Istri mengira saya masuk Islam karena mau kawin lagi. Tapi saya yakinkan pada istri, bukan itu niat saya," katanya. Melihat keteguhan hati Siddiq, istrinya merestui. Kini sang istri malah ikut membangunkannya untuk sahur dan tahajud (salat malam) di masjid.
Masjid Al-Ikhlas menjadi pilihannya selama dua tahun sejak menjadi mualaf, karena paling dekat dengan rumah. Dia yakin, dengan memakmurkan masjid di dekat rumahnya, lebih penting ketimbang harus jauh-jauh salat di Masjid Raya Mujahidin Pontianak. "Saya selalu azan di masjid ini tiap subuh."
Pukul dua dini hari, Siddiq sudah bangun dan mandi. Dengan Motornya, dia berjalan ke rumah makan di dekat rumahnya untuk makan sahur. Lalu, salat tahajud di masjid. Dia pun belajar membaca Al-Quran untuk menghabiskan waktu sebelum waktu subuh.
Rutinitas ini terus dia jalani setiap hari selama dua tahun terakhir. Walau kini berada dalam keluarga dengan kepercayaan berbeda, Siddiq tak lagi mendapat masalah. Kini semua keluarganya mendukung. "Mereka bahkan ikut mendoakan saya. Saya juga mendoakan semoga Allah memberi mereka hidayah."
Masjid itu berada di kawasan pecinan Kota Pontianak. Jemaah masjid saat subuh kebanyakan para pekerja di seputar pertokoan, penjaga keamanan, dan beberapa jemaah yang sengaja safari dari masjid ke masjid.
Usai salat, sang muazin menyalami beberapa jamaah, terutama kepada bukan jemaah tetap masjid. Wajahnya berseri-seri. "Dulu saya sangat membenci suara adzan. Sepertinya selalu ada di telinga saya," kata Muhammad Siddiq, si muazin, mengenang kisahnya.
Siddiq adalah warga Jalan Siam, kawasan Jalan Gajah Mada, Kota Pontianak. Daerah tersebut merupakan kawasan pecinan. Siddiq sebelumnya bernama A Hua. Dia berkisah, dulu ia sosok temperamental. Istri dan anaknya kerap menjadi korban kekerasannya. Hingga suatu saat usahanya di bidang jual-beli sepeda motor pailit.
Siddiq putus asa. Di tengah kesedihan dan kemarahannya, dia mendengar suara azan. Kali ini suara azan itu tak seperti biasanya. Tidak lagi membuatnya risau. Bahkan menyebabkan air matanya meleleh tanpa sadar. "Saya lalu minta mendatangi seorang teman. Dia yang membimbing saya masuk Islam," katanya.
Kepercayaan barunya ini membuat masalah besar di keluarga. "Istri mengira saya masuk Islam karena mau kawin lagi. Tapi saya yakinkan pada istri, bukan itu niat saya," katanya. Melihat keteguhan hati Siddiq, istrinya merestui. Kini sang istri malah ikut membangunkannya untuk sahur dan tahajud (salat malam) di masjid.
Masjid Al-Ikhlas menjadi pilihannya selama dua tahun sejak menjadi mualaf, karena paling dekat dengan rumah. Dia yakin, dengan memakmurkan masjid di dekat rumahnya, lebih penting ketimbang harus jauh-jauh salat di Masjid Raya Mujahidin Pontianak. "Saya selalu azan di masjid ini tiap subuh."
Pukul dua dini hari, Siddiq sudah bangun dan mandi. Dengan Motornya, dia berjalan ke rumah makan di dekat rumahnya untuk makan sahur. Lalu, salat tahajud di masjid. Dia pun belajar membaca Al-Quran untuk menghabiskan waktu sebelum waktu subuh.
Rutinitas ini terus dia jalani setiap hari selama dua tahun terakhir. Walau kini berada dalam keluarga dengan kepercayaan berbeda, Siddiq tak lagi mendapat masalah. Kini semua keluarganya mendukung. "Mereka bahkan ikut mendoakan saya. Saya juga mendoakan semoga Allah memberi mereka hidayah."