SujaNEWS.com — Banyak asa dan doa yang diam-diam menyertai kiprah Ridwan Kamil selaku pemimpin muda bagi negeri ini. Wali kota Bandung yang baru saja didaulat sebagai Chairman Asia Africa Smart City Alliance senyampang pelaksanaan Konferensi Asia-Afika. Tanpa harus menunggu jawaban, kehormatan ini bagi Emil kian mengokohkan kepantasannya sebagai calon pemimpi negeri ini. Sebuah harapan yang manusiawi hadir mengingat proses kepemimpinan yang dipraktikkan penguasa negeri belum memperlihatkan kadar ideal.
Naiknya Emil, entah cepat atau lambat, semoga saja bisa dilalui dengan proses yang berkebalikan dari penguasa sekarang. Mengakar dari tempaan persoalan saat menjabat wali kota akan menghadirkan banyak pengalaman dan wawasan. Tidak perlu dikarbit atau diakselerasi oleh mesin-mesin media agar Emil mendadak naik jadi gubernur, lalu berikutnya presiden. Kualitas penguasa negeri ini senuraninya pantas menguras airmata kita. Lelaki yang rapuh, bahkan tidak berkutik ketika dikontrol ketua umum partai, sejatinya bukan pemimpin bagi rakyat. Sehebat dan semenggelegar pidato di podium atas nama rakyat, hanya jadi banteng loyo apabila motif utamanya pemulihan citra, citra, dan citra. Mengilusi pikiran rakyat jadi kerja utama ketimbang berbuat sebenarnya.
Ingin membawa segera Indonesia tinggal landas maju, sungguh niat dan rencana mulia. Namun, tetap saja harus dilakukan dengan cara yang wajar dan bermartabat. Bukan dengan membohongi diri. Sungguh sayang bila sekaliber Emil kita sejajarkan dengan penguasa kiwari negeri. Para pendukung Paduka Mulia memang antitesis dari kerja lambat yang kadung disematkan pada presiden terdahulu. Pilihan untuk mendukung penguasa sekarang tidak lain agar ada percepatan, dengan mengorbankan banyak hal yang logis. Salah satunya akal waras bahwa sosok yang didukung tidaklah mumpuni. Hanya modal citra yang bagus lantas dianggap memadai untuk memimpin Indonesia.
Dalam kolom ini, saya berkali-kali menyebutkan dosa orang-orang pandai negeri ini yang menjerumuskan Paduka Mulia Joko Widodo. Abaikan yang hari ini menyesal memilih beliau. Abaikan pula yang hari ini bertobat tapi tetap membersamai Paduka sebagai cara menebus dosa. Soalnya adalah pada orang-orang pintar yang sampai hari ini tidak mau melihat kenyataan sebenarnya dan masih membabinajis menyokong penguasa tanpa mau memberikan kritik!
Emil, jelas lelaki cerdas, maka sungguh sayang apabila dia ditopang dengan fanatisme selayaknya pendukung penguasa sekarang. Tidak sampai 60 persen, rakyat negeri ini memilih cara menjadi sosok Jokowi. Ke depan, menjadi PR bersama agar rakyat mau dan sadar sesadar-sadarnya memilih pemimpin yang tidak sekadar jelas keberagamaannya, tapi juga kesalehan sosial tanpa manipulasi media.
Sosok seperti ini tidak boleh kita rusak dengan membuat relawan ini dan itu yang ujung-ujungnya kita menghamba demi jabatan. Lagi-lagi, proyek bancakan kursi komisaris hari ini semoga jadi penggedor kesadaran para penyokong Emil. Biarkan Emil naik dengan wajar, tanpa harus menempuh Jokowi Way, yang taklebih perpanjangan tangan para dalang. Biarkan Emil jadi Emil; jadi sosok yang betul-betul mengindonesia tanpa harus kita bergegasi menuju kursi Istana Negara. Semuanya akan berakhir indah dan mulia kok. Anatagonis hari ini berkuasa serakah di Istana, sebentar ataukah lama, muaranya ada protes massal rakyat.
Sungguh, persoalan mendasar pemimpin gadungan yang tampil di Istana Negara, jika memang ada, adalah dosa kolektif kita, selaku orang-orang berilmu. Maka, ke depan jangan biarkan ilmu-ilmu rakyat terbutakan untuk enggan menghadirkan figur semacam Emil. Ketika rakyat masih menghendaki sosok gadunganlah yang tampil memimpin, sudahlah ini pertanda buruk kebangkrutan Indonesia. Karena itulah, tugas mereka yang gerah dengan kesumukan praktik kekuasaan di Istana, lebih baik bila sejak sekarang menggalang gerakan untuk menyadarkan rakyat. Rakyat kita secara mayoritas masih menyukai yang sosok artifisial. Contohnya, nyaris 60 persen saat pemilihan penguasa tahun lalu.
Protes, kecewa, sebel, dengki pada penguasa sekarang, silakan saja. Hanya saja, jangan kemudian kita melampiaskannya dengan membangun harapan dan mendorong secepatnya Emil tampil. Cepat atau lambat, yang sudah berhak berkuasa sesuai perintah Langit, tidak ada yang bisa menolak. Daripada Emil besar dengan keujuban dan ketakaburan, lebih baik kita besarkan ide-ide prorakyat yang dicetusinya kendati kita tidak berada di Bandung. Menyemai idenya siapa sangka menggulirkan perjalanan memberadabkan rakyat kita yang kadung diilusi mentalnya beberapa bulan ini.
Jadi, jangan buru-buru tanya: kapan Emil untuk RI-1; tapi, katakanlah: kapan kita-kita ini, bisa secerdas (mendekati) Emil. Bila kita siap menjadi manusia cerdas, berdoalah pada Allah untuk segera hadirkan pemimpin cerdas. Cerdas di sini tak hanya otak, tapi juga—dan terutama—nurani mengikuti adab-adab kenabian. []
Naiknya Emil, entah cepat atau lambat, semoga saja bisa dilalui dengan proses yang berkebalikan dari penguasa sekarang. Mengakar dari tempaan persoalan saat menjabat wali kota akan menghadirkan banyak pengalaman dan wawasan. Tidak perlu dikarbit atau diakselerasi oleh mesin-mesin media agar Emil mendadak naik jadi gubernur, lalu berikutnya presiden. Kualitas penguasa negeri ini senuraninya pantas menguras airmata kita. Lelaki yang rapuh, bahkan tidak berkutik ketika dikontrol ketua umum partai, sejatinya bukan pemimpin bagi rakyat. Sehebat dan semenggelegar pidato di podium atas nama rakyat, hanya jadi banteng loyo apabila motif utamanya pemulihan citra, citra, dan citra. Mengilusi pikiran rakyat jadi kerja utama ketimbang berbuat sebenarnya.
Ingin membawa segera Indonesia tinggal landas maju, sungguh niat dan rencana mulia. Namun, tetap saja harus dilakukan dengan cara yang wajar dan bermartabat. Bukan dengan membohongi diri. Sungguh sayang bila sekaliber Emil kita sejajarkan dengan penguasa kiwari negeri. Para pendukung Paduka Mulia memang antitesis dari kerja lambat yang kadung disematkan pada presiden terdahulu. Pilihan untuk mendukung penguasa sekarang tidak lain agar ada percepatan, dengan mengorbankan banyak hal yang logis. Salah satunya akal waras bahwa sosok yang didukung tidaklah mumpuni. Hanya modal citra yang bagus lantas dianggap memadai untuk memimpin Indonesia.
Dalam kolom ini, saya berkali-kali menyebutkan dosa orang-orang pandai negeri ini yang menjerumuskan Paduka Mulia Joko Widodo. Abaikan yang hari ini menyesal memilih beliau. Abaikan pula yang hari ini bertobat tapi tetap membersamai Paduka sebagai cara menebus dosa. Soalnya adalah pada orang-orang pintar yang sampai hari ini tidak mau melihat kenyataan sebenarnya dan masih membabinajis menyokong penguasa tanpa mau memberikan kritik!
Emil, jelas lelaki cerdas, maka sungguh sayang apabila dia ditopang dengan fanatisme selayaknya pendukung penguasa sekarang. Tidak sampai 60 persen, rakyat negeri ini memilih cara menjadi sosok Jokowi. Ke depan, menjadi PR bersama agar rakyat mau dan sadar sesadar-sadarnya memilih pemimpin yang tidak sekadar jelas keberagamaannya, tapi juga kesalehan sosial tanpa manipulasi media.
Sosok seperti ini tidak boleh kita rusak dengan membuat relawan ini dan itu yang ujung-ujungnya kita menghamba demi jabatan. Lagi-lagi, proyek bancakan kursi komisaris hari ini semoga jadi penggedor kesadaran para penyokong Emil. Biarkan Emil naik dengan wajar, tanpa harus menempuh Jokowi Way, yang taklebih perpanjangan tangan para dalang. Biarkan Emil jadi Emil; jadi sosok yang betul-betul mengindonesia tanpa harus kita bergegasi menuju kursi Istana Negara. Semuanya akan berakhir indah dan mulia kok. Anatagonis hari ini berkuasa serakah di Istana, sebentar ataukah lama, muaranya ada protes massal rakyat.
Sungguh, persoalan mendasar pemimpin gadungan yang tampil di Istana Negara, jika memang ada, adalah dosa kolektif kita, selaku orang-orang berilmu. Maka, ke depan jangan biarkan ilmu-ilmu rakyat terbutakan untuk enggan menghadirkan figur semacam Emil. Ketika rakyat masih menghendaki sosok gadunganlah yang tampil memimpin, sudahlah ini pertanda buruk kebangkrutan Indonesia. Karena itulah, tugas mereka yang gerah dengan kesumukan praktik kekuasaan di Istana, lebih baik bila sejak sekarang menggalang gerakan untuk menyadarkan rakyat. Rakyat kita secara mayoritas masih menyukai yang sosok artifisial. Contohnya, nyaris 60 persen saat pemilihan penguasa tahun lalu.
Protes, kecewa, sebel, dengki pada penguasa sekarang, silakan saja. Hanya saja, jangan kemudian kita melampiaskannya dengan membangun harapan dan mendorong secepatnya Emil tampil. Cepat atau lambat, yang sudah berhak berkuasa sesuai perintah Langit, tidak ada yang bisa menolak. Daripada Emil besar dengan keujuban dan ketakaburan, lebih baik kita besarkan ide-ide prorakyat yang dicetusinya kendati kita tidak berada di Bandung. Menyemai idenya siapa sangka menggulirkan perjalanan memberadabkan rakyat kita yang kadung diilusi mentalnya beberapa bulan ini.
Jadi, jangan buru-buru tanya: kapan Emil untuk RI-1; tapi, katakanlah: kapan kita-kita ini, bisa secerdas (mendekati) Emil. Bila kita siap menjadi manusia cerdas, berdoalah pada Allah untuk segera hadirkan pemimpin cerdas. Cerdas di sini tak hanya otak, tapi juga—dan terutama—nurani mengikuti adab-adab kenabian. []