Sejarawan Betawi : Pidato di Sunda Kelapa, Situs Sejarah yang Dipakai Jokowi Kacau Melulu

Sejarawan Betawi Pidato di Sunda Kelapa, Situs Sejarah yang Dipakai Jokowi Kacau Melulu
SUJA - Sejarawan asal Betawi, JJ Rizal, menyesalkan pidato kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang disampaikan di atas kapal penisi yang ditambatkan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara (22/07).

“Ngapa sih situs sejarah yang dipilih pak @jokowi_do2 kacau mulu dan kontra dengan niat simbolisasi yang hendak disampaikan,” tulis JJ Rizal di akun Twitter @JJRizal.

Menurut JJ Rizal, timses Jokowi-JK, yang di antaranya sejarawan tidak memiliki pengetahuan sejarah. “Gemes liat berkali-kali pak @jokowi_do2 memilih situs sejarah tanpa pengetahuan sejarah dan menempatkan visi politiknya yang gak pas dengan situsnya,” tegas @JJRizal.

@JJRizal juga menulis: “Ini politisi partai juga asbun ngomong alasan pilihan Pelabuhan Sunda Kelapa, ah parah betul kata Pram mereka ini busing lapar sejarah. Jangan pilih situs sejarah sebagai simbolisasi visi politik.”

JJ Rizal dalam tulisan bertajuk “Jokowi dan Fatahillah” (Juli 2012), membeberkan fakta sejarah tentang hubungan Fatahilah dengan Bandar Sunda Kelapa.

“Jokowi datang ke Jakarta bertarung di Pemilukada Jakarta yang berbarengan dengan ulang tahun Jakarta yang identik dengan Fatahillah. Jokowi meninggalkan Jawa Tengah bertarung di Jakarta lebih banyak karena menjalankan perintah junjungannya Megawati yang berkoalisi dengan Prabowo Subianto demi mengukuhkan prestise partai. Begitu pula dulu pada 1527, Fatahillah berlayar dengan 1.500-an tentara ke Sunda Kalapa demi menjalankan perintah Sultan Trenggana di Kerajaan Demak serta Sunan Gunung Jati di Kerajaan Cirebon untuk menunjukkan wibawa mereka yang merasa ditantang oleh keberadaan Portugis di wilayah pantai barat Jawa” tulis JJ Rizal.

Di alenia lain JJ Rizal menulis: “Seketika ingatan lokal kota bandar Hindu itu pun dihapus Fatahillah dengan mengganti nama Sunda Kalapa. Anehnya nama pilihan yang dicomot bukan inspirasi Islam yang menjadi alasan penyerbuan ke Sunda Kelapa, tetapi dunia Jawa, yaitu Jayakarta, artinya “kemenangan besar”. Tidak cukup, sebab Sunda Kalapa juga mendapat nama lain dari bahasa Jawa, yaitu Surakarta artinya “keberanian untuk kesejahteraan”. Beberapa sejarawan menilai pilihan nama Jayakarta bukti kuatnya “kuasa Jawa” dalam koalisi penahlukan itu.

Kalau nama buat orang Jawa adalah harapan, bagi orang Islam adalah doa, maka apakah Jayakarta maupun Surakarta ketika sudah dipimpinan Fatahillah mendapatkan suatu “kemenangan besar”, rakyat kota bandar itu dapat melihat tindakan juga sikap pemimpinnya yang punya “keberanian untuk kesejahteraan”? Tidak!