Sujanews.com —Bayangkan jika Amerika Serikat memulai perang dan tak satu orang pun yang tahu? Itu memang pertanyaan absurd. Namun, hal itulah yang tengah terjadi dalam sepekan terakhir ini.
Kenyataannya, ketika publik AS dan dunia disuguhkan sirkus politik jelang pemilihan presiden AS antara Donald Trump melawan Hillary Clinton, tentara AS justru sedang gencar menggempur kelompok pemberentak Houthi di Yaman dengan rudal.
Serangan rudal itu menyasar tiga titik radar yang dikuasai oleh kelompok Houthi.
Militer AS telah terlibat lebih dalam dalam konflik yang terjadi di Yaman, dan sudah barang tentu akan menyeret negeri itu ke dalam konflik yang lebih jauh lagi.
Terkait hal ini, Departemen Pertahanan AS, Pentagon, telah membenarkan bahwa serangan tersebut merupakan serangan pembalasan.
Pekan lalu, pada kesempatan terpisah, dua rudal ditembakan dari kapal ankatan laut dan dari pantai selatan Yaman.
Tak ada korban jiwa dalam serangan tersebut, karena rudal jatuh ke dalam air. Namun, hal itu cukup sebagai provokasi yang dilancarkan oleh angkatan laut.
Namun sebelumya, Sabtu (8/10/2016), sebuah bom dijatuhkan dalam prosesi pemakaman yang dilakukan oleh koalisi Arab Saudi yang dipimpin AS untuk memerangi pemberontak (yang disebut Saudi didukung oleh Iran).
Bom ini menewaskan lebih dari 525 orang. Human Right Watch menyebut insiden tersebut sebagai sebuah 'Kejahatan Perang'.
AS mengecam keras seranga tersebut, namun di sisi lain negara itu telah menjual senjata senilai US$110 miliar selama Presiden Barack Obama menjabat.
Baru-baru ini, AS juga menyetujui penjualan senjata senilai US$1,15 miliar kepada Saudi. Bukan hanya sebagai pemasok senjata, AS juga memberi strategi dan logistik yang diperlukan untuk perang.
Menurut Reuters, pemerintah AS juga khawatir bahwa di masa di kemudian hari AS akan dituntut atas kejahatan perang akibat keterlibatan pada koalisi Saudi.
Kekhawatiran ini mungkin mejelaskan mengapa juru bicara Dewan Keamanan Nasional, Ned Price, menyatakan, "Sudah jelas dalam insiden terbaru, kami siap untuk menyesuakian dukungan untuk menyelaraskan (koalisi yang dipimpin) AS dengan prinsip, nilai-nilai, dan kepentingan termasuk segera mengakhiri konflik yang berlarut- larut dan tragis di Yaman."
Pernyataan Price memang terdengar baik, namun jelang beberapa hari, AS justru kembali mengebom Houthi.
Situasi ini telah menjadi bencana besar di Yaman. Sejak konflik dimulai 18 bulan lalu, setidaknya lebih dari 6.800 orang meninggal dunia.
Kedua pihak, yakni pemberontak dan rezim telah melakukan kekejaman, sementara sebagian besar orang yang tewas merupakan warga sipil, di mana sebagian besarnya terbunuh dalam serangan udara yang dipimpin Saudi.
Saat ini, hampir 14,4 juta orang kekurangan makanan. Menurut Program Pangan Dunia PBB, lebih dari 2,8 juta orang telah mengungsi.
Pada 2015, ada 101 serangan terhadap sekolah dan rumah sakit. Dua rumah sakit dibom dan mengakibatkan 20 kematian, satu di Taiz pada 2 Desember 2015 dan yang lainnya di Abs pada 15 Agustus tahun ini.
Kelompok kemanusiaan terpaksa menarik diri dari enam rumah sakit di Yaman utara. Dan kini berita terbaru mengatakan bahwa wabah kolera tengah menyerang Yaman.
Pada keadaan seperti itu, publik justru disuguhkan pertunjukan yang dimainkan oleh Trump di panggung pilpres. Sementara jajak pendapat menujukkan Hillary memenangkan pilpres tahun ini atas keputusasaan pemilih.
Pertanyaan pun muncul, apakah Hillary nantinya hanya akan melanggengkan startegi Yaman yang dimainkan Obama, yang telah gagal mengakhiri perang? Sementar para elit Partai Demokrat hanya memikirkan cara untuk mengalahkan Trump.
Hal itu jelas tidak adil bagi para pemilih maupun bagi masyarakat Yaman yang semakin hari semakin menderita seperti dikutip dari inilah.com.