Indonesia Punya Laut Luas, Kenapa Masih Impor Garam?

Indonesia Punya Laut Luas, Kenapa Masih Impor Garam?

Sujanews.com —   Indonesia sebagai negara kepulauan yang duapertiga wilayahnya lautan dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia harusnya tak kekurangan garam. Tapi nyatanya, Indonesia amat bergantung pada garam impor.

Di awal tahun ini, pemerintah sudah membuka keran impor 3,7 juta ton garam. Mengapa Indonesia belum bisa swasembada garam?

Salah satu penulis buku 'Hikayat Si Induk Bumbu', Misri Gozan, menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang membuat produksi garam lokal tidak mencukupi kebutuhan masyarakat, salah satunya yakni cuaca yang tidak menentu.

Musim kemarau di pulau Jawa relatif pendek, hanya sekitar 4-5 bulan per tahun dengan kelembaban yang tinggi, sehingga produktivitas tambak garam rendah.

"Membutuhkan 5 pekan tanpa hujan, lalu mereka produksi garam butuh 6 pekan dan jika pada beberapa pekan ada hujan harus mulai lagi dari awal proses, petambak garam bergantung pada cuaca," ujarnya saat peluncuran dan bedah buku Hikayat Si Induk Bumbu, Resto Bebek Bengil, Jakarta, Kamis (22/2).

Selain faktor cuaca, minimnya pemanfaatan teknologi dalam mengelola garam saat ini membuat produksi garam kurang maksimal.

"Seperti garam dapur, dengan metode masih menggunakan tradisional, seluas 30 hektar lahan penggunaan tradisional," imbuhnya.

Luas area tambak garam pun masih terhitung kecil untuk perseorangan yakni sekitar 0,5 sampai dengan 5 hektar per unit.

Kemudian soal kualitas garam lokal yang masih rendah. Garam yang dihasilkan berbentuk kristal kecil dan rapuh. Penyebabnya proses pelepasan air dilakukan sebelum waktunya, dan juga jangka waktu panen yang terlalu pendek, hanya 3-5 hari.



Di tempat yang sama, Ekonom Faisal Basri mengatakan bahwa panjang pantai dari suatu negara tidak menentukan besarnya produksi garam. Ada beberapa negara seperti India dan Cina mampu menjadi produsen utama garam di dunia meski panjang pantainya minim.

"Tentang negara-negara yang menjadi produsen garam paling besar seperti China, dia bukan merupakan negara dengan garis pantai panjang, tapi mereka menjadi produsen utama, nilai ekspor garam China USD 75 juta," ungkapnya.

Faisal menambahkan, minimnya produksi garam lokal juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada petambak garam. Izin impor garam kerap diterbitkan menjelang panen, akibatnya petambak rugi.

"Waktu panen, impor masuk, hancur petaninya. Nah siapa yang menizinkan impor? Pemerintah. Bukan saya menyalahkan pemerintah terus, faktanya kayak gitu," pungkasnya.   [Sujanews.com]





Sumber: