Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau akrab disapa Buya Hamka pernah mendapatkan ujian berat dan dijebloskan penjara di era rezim Soekarno.
Sunnahnya, semakin kokoh agama seorang hamba, makin beratlah ujiannya.
Kala itu, di siang Bulan Ramadhan, Buya Hamka, salah satu ulama besar Indonesia ditangkap dengan tuduhan penghianat bangsa.
Tuduhan sangat keji yang ditimpakan kepada ulama mulia yang sudah mulai memasuki masa senja.
15 hari Buya diinterogasi dengan kejam. Saat itu umurnya 58 tahun, sudah tua. Perihal penangkapannya ini dicurahkan dengan detail dalam pengantar cetakan XII buku “Tasawuf Modern“.
Berikut kutipkannya.
“Akhirnya, pengarangnya sendiripun terlepas dari bahaya besar, yaitu bahaya kekal dalam neraka jahannam sesudah hancur nama sendiri dan nama keturunan karena pertolongan “Tasawuf Modern”!
Pada hari Senin tanggal 12 Ramadhan 1385, bertepatan dengan 27 Januari 1964 kira-kira pukul 11 siang saya dijemput ke rumah saya, ditangkap dan ditahan. Mulanya dibawa ke Sukabumi.
Diadakan pemeriksaan yang tidak berhenti-henti, siang malam, petang pagi. Istirahat hanya ketika makan dan sembahyang saja. 1001 pertanyaan, yah 1001 yang ditanyakan. Yang tidak berhenti-henti ialah selama 15 hari 15 malam. Di sana sudah ditetapkan lebih dahulu bahwa saya mesti bersalah. Meskipun kesalahan itu tidak ada, mesti diadakan sendiri. Kalau belum mengaku berbuat salah, jangan diharap akan boleh tidur.
Tidur pun diganggu!
Kita pasti tidak bersalah. Di sana mengatakan kita mesti bersalah. Kita mengatakan tidak. Di sana mengatakan ya! Sedang di tangan mereka ada pistol.
Satu kali pernah dikatakan satu ucapan yang belum pernah saya dengar selama hidup.
“Saudara pengkhianat, menjual Negara kepada Malaysia!”
Kelam pandangan mendengar ucapan itu. Berat!
Ayah saya adalah seorang Alim Besar. Dari kecil saya dimanjakan oleh masyarakat, sebab saya anak seorang alim! Sebab itu maka ucapan terhadap diri saya di waktu kecil adalah ucapan kasih.
Pada usia 16 tahun saya diangkat menjadi Datuk menurut adat gelar pusaka saya ialah Datuk Indomo.
Sebab itu sejak usia 12 tahun saya pun dihormati secara adat. Lantaran itu sangat jaranglah orang mengucapkan kata-kata kasar di hadapan saya.
Kemudian sayapun berangsur dewasa. Saya campuri banyak sedikitnya perjuangan menegakkan masyarakat bangsa, dari segi agama, dari segi karang-mengarang, dari segi pergerakan Islam, Muhammadiyah dan lain-lain. Pada tahun 1959 Al-Azhar University memberi saya gelar Honoris Causa, karena saya dianggap salah satu ulama terbesar di Indonesia.
Sekarang terdengar saja ucapan: “Saudara pengkhianat, menjual negara kepada Malaysia.”
Memang kemarahan saya itulah rupanya yang sengaja dibangkitkannya. Kalau saya melompati dia dan menerkamnya, tentu sebutir peluru saja sudah dalam merobek dada saya. Dan besoknya tentu sudah dapat disiarkan berita di surat-surat kabar: “Hamka lari dari tahanan, lalu dikejar, tertembak mati!”
Syukur Alhamdulillah kemarahan itu dapat saya tekan, dan saya insaf dengan siapa saya berhadapan. Saya yang tadinya sudah mulai hendak berdiri terduduk kembali dan meloncatlah tangis saya sambil meratap: “Janganlah saya disiksa seperti ini. Bikinkan sajalah satu pengakuan bagaimana baiknya, akan saya tandatangani. Tetapi kata-kata demikian janganlah saudara ulang lagi!”
“Memang saudara pengkhianat!” katanya lagi dan diapun pergi sambil menghempaskan pintu.
Remuk rasanya hati saya. Mengertilah saya sejak saat itu mengapa maka segala barang tajam wajib dijauhkan dari tahanan yang sedang diperiksa.
Di saat seperti itu, setelah saya tinggal seorang diri, datanglah tetamu yang tidak diundang, dan yang memang selalu datang kepada manusia di saat seperti demikian. Yang datang itu ialah SETAN! Dia membisikkan ke dalam hati saya, supaya saya ingat bahwa di dalam simpanan saya masih ada pisau silet. Kalau pisau itu dipotongkan saja kepada urat nadi, sebentar kita sudah mati. Biar orang tahu bahwa kita mati karena tidak tahan menderita.
Hampir satu jam lamanya terjadi perang hebat dalam bathin saya, di antara perdayaan Iblis dengan Iman yang telah dipupuk berpuluh tahun ini. Sampai-sampai saya telah membuat surat wasiat yang akan disampaikan kepada anak-anak di rumah.
Tetapi Alhamdulillah! Iman saya menang.
Saya berkata kepada diriku: “Kalau engkau mati membunuh diri karena tidak tahan dengan penderitaan bathin ini, mereka yang menganiaya itu niscaya akan menyusun pula berita indah mengenai kematianmu. Engkau kedapatan membunuh diri dalam kamar oleh karena merasa malu setelah polisi mengeluarkan beberapa bukti atas pengkhianatan. Maka hancurlah nama yang telah engkau modali dengan segala penderitaan, keringat dan air mata sejak berpuluh tahun.
Dan ada orang yang berkata: Dengan bukunya “Tasawuf Modern” dia menyeru orang agar sabar, tabah dan teguh hati bila menderita satu percobaan Tuhan. Orang yang membaca bukunya itu semuanya selamat karena nasihatnya, sedang dirinya sendiri memilih jalan yang sesat. Pembaca bukunya masuk Surga karena bimbingannya, dan dia di akhir hayatnya memilih Neraka.”
Jangankan orang lain, bahkan anak-anak kandungmu sendiri akan menderita malu dan menyumpah kepada engkau.”
Syukur Alhamdulillah, perdayaan setan itu kalah dan diapun mundur. Saya menang! Saya menang!
Klimaks itu terlepas.
Setelah selesai pemeriksaan yang kejam seram itu, mulailah dilakukan tahanan berlarut-larut. Akhirnya dipindahkan ke rumah sakit Persahabatan di Rawamangun Jakarta, karena sakit. Maka segeralah saya minta kepada anak-anak saya yang selalu melihat saya (besuk) agar dibawakan “Tasawuf Modern”.
Saya baca dia kembali di samping membaca Al Qur’an.
Pernah seorang teman yang datang, mendapati saya sedang membaca “Tasauf Modern”. Lalu dia berkata: “Eh, Pak Hamka sedang membaca karangan Pak Hamka!”
“Memang!” –jawab saya: “Hamka sedang memberikan nasihat kepada dirinya sendiri sesudah selalu memberi nasihat kepada orang lain. Dia hendak mencari ketenangan jiwa dengan buku ini. Sebab telah banyak orang memberitahukan kepadanya bahwa mereka mendapat ketenangannya kembali karena membaca buku “Tasawuf Modern” ini!”
Ulama akan diuji. Ini pasti.
Yang belum pasti itu kita. Jangan-jangan ujian ke ulama menjadi ujian pula untuk kita. Dimana posisi kita?
Apakah kita termasuk sang pencaci, yang karena kejahilan diri menghina orang-orang yang Allah cintai?
Atau malah kita ada dibarisan pecinta ulama? Yang dengan kecintaan ini kita berharap….benar-benar berharap… Allah mengumpulkan kita bersama beliau-beliau yang mulia. Ulama Rabbani. Bersama, di Surga. [Sujanews.com]