Tiada Pahlawan Imam Bonjol di Dompet Kami Lagi

Memilih sosok yang bakal tampil dalam lembaran anyar mata uang sukar dielak dari preferensi penguasa dan pendukungnya. Ini hal biasa meski mungkin hasilnya mengundang tanya dan kecewa. Tafsiran sejarah milik siapa yang berkuasa kiranya berlaku dalam soal pahlawan yang mau ditampilkan.

Memilihnya mungkin dislogani patriotisme dan proporsionalitas atas nama daerah ataupun suku. Ini pun bertali erat dengan selera penguasa. Repotnya kalau penguasa awam sejarah maka yang bermain dominan adalah sejarawan di sekelilingnya. Mereka manfaatkan momentum buat menafsirkan narasi sampai mentransformasi isi pikiran yang selama ini dihambat rezim sebelumnya.

Bagi saya tak kaget melihat hasil FGD para akademisi dan di antaranya sejarawan dalam memilih sosok di mata uang baru kita. Paderi dengan Imam Bonjol adalah momen tepat dienyah. Tokoh “kami” pun diseliwerkan untuk dikenalkan publik seolah tak ada wakil lain. Nama-nama yang asing memang bukan alasan menolak. Hanya saja, pola pemilahan dan pemilihan selektif itu sukar diarahkan sebagai keputusan “bijak dan tanpa tendensi hati”. Ada kerja-kerja ideologi dalam proses seleksi. Asas kesetaraan dan perwakilan, karenanya semata jadi jargon menutup alasan lain.

Pahlawan di lembaran mata uang, sekali lagi, imajinasi politik kekuasaan terutama yang dibangun para cendekia di sekitar presiden. Ini hak mereka. Tinggal bagaimana kita, umat ini, jernih dan cerdas membaca “permainan” tetanda dengan arus utama bahasa indah: bhineka, persatuan, dan proporsi daerah.

Selamat tinggal Imam Bonjol. Elan vital gerakanmu tak bakal dapat tempat pada era sekarang. Karena mereka sejak lama ingin kau dihapus dari daftar pahlawan. Karena kau tak lain oleh mereka dianggap simbol kekerasan, alias inspirasi penyebaran wahabi pada masa sekarang oleh sebagian kalangan. Sebuah tafsir yang sebetulnya bisa dibincang bijak lebih jauh tanpa bias politik.

Karena sudah diputuskan penguasa, semoga politik pengenangan pahlawan terpilih lewat lembaran uang jadi renungan umat Islam. Silap dan abai menerawang calon penguasa beginilah jadinya. Ia akan dikerumuni kalangan yang semena-mena Menafikan tokoh umat. Buka penguasanya salah memang. Hanya lemahnya ia jadi pintu masuk gerombolan sejarawan dan akademisi menjalankan politik pengetahuan. Hal lazim dan jamak sayangnya umat abai lagi atas praktik ini. [Ipos/Sujanews.com]