Aksi Bhineka Tunggal Ika Salah Kaprah dan Menentang Presiden

Aksi Bhineka Tunggal Ika Salah Kaprah dan Menentang Presiden

Sujanews.com — Aksi parade Bineka Tunggal Ika dinilai salah kaprah sebagai pembentukan opini untuk melawan aksi umat islam pada 4 November silam. Aktivis sosial, Ferdinand Hutahaean mengatakan bahwa parade Bhineka Tunggal Ika yang berlangsung hari ini (Sabtu 19/11) digagas sekelompok orang yang menjadi pendukung Basuki Tjhaja Purnama (Ahok) dalam Pilkada DKI Jakarta.

Lebih lanjut dia melihat Parade tersebut justru lebih kental kandungan nuansa provokasi daripada semangat kebinekaan yang memang harus dipupuk dalam semangat toleransi. Dia merasa aneh, aksi umat islam yang menuntut tegaknya hukum agar menghindari terulannya tidakan penistaan agama dikemudian hari, malah dilawan dengan aksi yang mengesankan bahwa umat islam mengancam kebhinekaan.

“Secara langsung maupun tidak langsung, parade ini seakan ingin membentuk opini bahwa saat ini ada ancaman terhadap kebhinekaan, ada kekuatiran terhadap pecahnya kerukunan antar anak bangsa yang beragam agama, suku dan budaya. Sangat aneh memang jika tuntutan penegakan hukum oleh umat islam terhadap penista agama dianggap sebagai ancaman kebhinekaan, Ini pemikiran tak layak dimunculkan apalagi harus digagas dalam sebuah parade yang justru besar nuansa provokatifnya dan mengipas bara api yang belum padam,” kata Ferdinand, Sabtu (19/11).

Kemudian, lanjutnya, opini yang membesar-besarkan ancaman kebhinekaan merupakan suatu yang tidak terlalu relevan saat ini. Dari fakta di lapangan (lingkungan kehidupan sosial) masyarakat Indonesia sangat toleran dan hidup rukun.

“Kita tidak menemukan ketidaknyamanan penduduk minoritas hidup bermasyarakat ditengah komunitas mayoritas. Adakah minoritas seperti Kristen, Hindu dan Budha dilarang beribadah oleh umat Islam yang mayoritas? Adakah acara-acara keagamaan atau budaya minoritas dilarang dilakukan ditengah publik? Tidak sama sekali, bahkan budaya Barongsai yang berasal dari Cina dan bukan budaya asli bangsa ini tidak dilarang dan bebas dilaksanakan kapan saja dimana saja,” tuturnya.

Dia meyakini masyarakat Indonesia sangat tenggang rasa, sehingga sulit untuk terpecah belah. Bahkan tambahnya ketika aksi Bela Islam berlangsung dan ada acara pernikahan di Gereja Katedral, peserta aksi malah membuka jalur untuk iring-iringan pengantin yang jelas minoritas di negara Indonesia.

Maka dari itu, mengaitkan tuntutan penegakan hukum kasus penistaan agama dan aksi Bela Islam dengan ancaman kebhinekaan adalah pemikiran primitif yang tidak layak ada di era sekarang. Terlalu kuno dan justru bersifat rasis.

Adapun kejadian Bom digereja  Samarinda, baginya hal itu tidak layak dikaitkan sebagai ancaman terhadap kebhinekaan, akan tetapi dipandang sebagai bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara.

“Itu adalah teror yang tujuannya menyerang ideologi bangsa dan bukan menyerang kebhinekaan. Ini yang harus dipahami supaya tidak muncul upaya-upaya yang justru menjadi ancaman terhadap kebinekaan. Apapun bentuknya yang cenderung justru akan memanasi situasi harus dihentikan,” tegasnya.

Dia sendiri menyayangkan rencana aksi Kebhinekaan. Mestinya ujar Ferdinand, parade kebhinekaan tidak dilakukan ditengah upaya Presuden Jokowi secara mati-matian berupaya mendinginkan tensi sosial yang tinggi.

“Presiden bersusah payah menurunkan tensi politik dengan melakukan safari politiknya. Sayangnya ada sekelompok orang yang justru mengipas bara yang sudah mulai reda,” tandasnya. [akt]  Sujanews.com