![]() |
Muslim Arbi (Koordinator GALAK-Gerakan Aliansi Laskar Anti Korupsi) |
Apa yang ada dalam pikirannya adalah sebuah kebenaran. Kalau ada yang menentang dianggap sebagai pihak yang salah. Siapapun itu, lembaga apa pun yang ada. Entah itu pribadi, publik atau lembaga negara salah dimata Ahok. Ini sangat berbahaya! Ahok seolah menjadikan dirinya sebagai representasi kebenaran dan dia pemilik kebenaran. Selain dirinya adalah salah dan tidak benar.
Dalam kasus kasus cuti sebagai petahana, misalnya, saat bersama Jokowi di Pilgub DKI, 2012, maka dia lantang suarakan agar Fauzi Bowo yang saat itu sebagai Cagub harus cuti. Kini, di saat dia berkepentingan sebagai Cagub, dia menolak cuti dan ajukan gugatan judicial review ke MK. Padahal para petahana lain-karena patuh pada UU- maka rela cuti, jika maju lagi dalam pilkda.
Pada proses penegakan hukum misalnya, juga menjadi contoh buruk bagi bangsa ini. Meski kasusnya itu terang benderang dengan bukti yang sangat kuat sekalipun, lembaga negara yang melakukan audit yaitu BPK di anggap ngaco. Padahal bukti yang merugikan negara sudah terang benderang, seperti pada kasus pembelian lahan RS Sumber Waras.
Dalam kasus pengusuran, Ahok memperlakukan warga DKI sebagai masuh yang harus di tumpas dengan menggunakan tangan aparat. Sebaliknya dalam hal pemberian izin reklamasi teluk Jakarta, Ahok sangat membela pengembang dan pemodal.
Ahok terlihat sangat ngotot membela pemodal besar, tapi terhadap rakyat kecil tanpa ampun menggusur rumah dan sumber kehidupan mereka. Sehingga sebagai Gubernur DKI, Ahok memperlihatkan watak kejam bukan mengayomi.
Sikap Ahok ini memperlihatkan keretakan dan lubang yang menganga antara non pri-kebetulan sebagai pemilik modal- denhan pri-yang lemah dan tak menguasai modal. Ini adalah luka sosial dan menciptkan gap semakin dalam di masyarakat.
Semua itu membawa kepada penilaian bahwa selama menjadi Gubernur Ibhko, Ahok adalah gambaran pemimpin yang kejam, tak berperikemanusiaan dan gagal. Tak heran jika sosok Ahok menjadi musuh bersama (common enemy) warga Jakarta.
Penyerangan sekelompok orang terhadap sosok yang wajahnya mirip Ahok di bus Trans Jakarta adalah wujud nyata kekesalan yang mendalam warga ibukota. Mereka geram dan melampiaskan kemarahannya. Meski hal ini juga tidak bisa dibenarkan.
Apapun, faktanya Ahok telah menjadi musuh bersama. Oleh karenanya personifikasi Ahok sangat berbahaya bagi bangsa ini, kini maupun nanti. Ahok menjadi faktor perusak bangsa. Sehingga, bila ada tokoh publik, pejabat atau pimpinan partai serta partai yang memberi dukungan kepada Ahok, juga layak di cap sebagai perusak bangsa.
Ahad, 4 September 2016 lalu, puluhan ribu umat Islam turun ke jalan di ibukota menolak Ahok. Namun tak satupun media nasional, baik elektronik maupun cetak, yang memberitakan. Beruntung, para penggiat media sosial mampu menyebarluaskan. (baca: Puluhan Ribu Massa Tolak nonmuslim Jadi Gubernur)
Ini membuktikan bahwa media massa ikut merusak karena telah terjangkiti penyakit Ahok. Mereka ikut menjadi perusak bangsa dalam proses informasi, publikasi dan edukasi. Demokratisasi media nasional menjadi mati suara karena pemihakan.
Media-media masa utama itu terlihat sangat partisan dan amatiran soal isu Tolak Ahok. Padahal suara-suara penolakan itu adalah murni karena Ahok telah menjadi common enemy, sebagai perusak bangsa.