Jika Penilaian Jujur, Banda Aceh Masuk Kategori Kota Paling Islami

Jika Penilaian Jujur, Banda Aceh Masuk Kategori Kota Paling Islami

SujaNEWS.com — Banda Aceh menempati urutan ke 19 indeks Kota Islam menurut hasil survey  Maarif Institute yang dipublikasi beberapa hari lalu. Dengan kata lain, Banda Aceh tidak masuk dalam kategori kota Islami.

Lalu apa sebabnya? Kenapa Banda Aceh tidak masuk, dan justru Bali menempati urutan ketiga kota yang dianggap Islami? Kalau kita telaah metode penilaian survey  tersebut di website mereka, di sini kita akan temukan jawabannya.

Dari tiga variable ukuran penilaian, yaitu aman, sejahtera dan bahagia. Variable “bahagia” yang dinilai yaitu harmoni dengan alam, dan kesetiakawanan. Sementara variable “sejahtera”, yang dinilai yaitu pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan kesehatan. Nah, ternyata Banda Aceh unggul dalam dua variable ini menurut hasil survey  tersebut yang bisa kita baca di website mereka.

Sementara pada variable ketiga, yaitu “aman”, di sinilah Banda Aceh kekurangan nilai. Pada variable ini, yang dinilai adalah kebebasan beragama dan keyakinan, perlindungan hukum, kepemimpinan dan pemenuhan hak politik perempuan dan hak anak dan difabel.

Jadi, bisa disimpulkan Banda Aceh kekurangan nilai pada Variable aman ini karena Banda Aceh dianggap tidak mendukung kebebasan beragama oleh karena poin kebebasan beragama jadi ukuran dengan nilai besar versi Maarif Institute.

Banda Aceh pada Variable “aman” ini mendapat nilai 55, sementara Denpasar-Bali mendapat nilai 65. Jadi, Banda Aceh dianggap tidak mendukung kebebasan beragama, sementara Denpasar dianggap mendukung kebebasan beragama.

Parameter penilaian untuk ini, menurut Maarif Institute yaitu dengan menggunakan metodologi Maqashid Shari’ah dimana poin Hifzhu ad-Din (memelihara agama) masuk di dalamnya.

Jadi, Maarif Institute menggunakan metodologi Maqashid ini untuk termasuk mengukur proses “Penjagaan Agama” (hifzhu ad-Din) pada kota-kota yang disurvey  tersebut yang hasilnya Banda Aceh sebagai kota yang memberlakukan syari’at Islam justru mendapat nilai rendah, sementara Denpasar-Bali yang berlaku tradisi Hindu mendapat nilai tertinggi.

Dengan kata lain, Maarif Institute telah melakukan pelacuran metodologis karena menggunakan metodologi Maqashid Shari’ah tidak pada tempatnya. Bagaimana bisa metodologi Maqashid yang sebenarnya berorientasi untuk menjaga agama Islam lalu justru digunakan (termasuk) untuk mengukur kota yang memberlakukan nilai-nilai Hindu secara ketat dan kemudian hasilnya Denpasar yang “Menjaga agama Hindunya” mendapat nilai tertinggi dan Banda Aceh mendapat nilai terendah.

Padahal bukannya Banda Aceh dengan syari’at Islamnya justru demikian banyak bukti yang menunjukkan konsistensinya “Menjaga Agama (Islam)” misalnya dengan melarang aliran sesat Gafatar berkembang di Banda Aceh karena akidahnya yang melenceng dari Islam? Ataukah melarang aliran sesat semacam Gafatar ini menurut Maarif Institute merupakan bukti tidak adanya kebebasan beragama di Banda Aceh? Kalau iya, seharusnya Maarif Institute tidak menggunakan metodologi Maqashid Shari’ah, karena metodologi ini sesuai dengan penjelasan para ulama Ushul Fiqh, maksud “Menjaga Agama” atau Hifzhu ad-Din, ya menjaga agama Islam dari segala penyimpangannya, bukan membiarkan segala penyimpangan terhadap ajaran Islam.

Apalagi, terkait Bali, jika kita mau jujur,  siapapun tahu kasus demi kasus larangan berjilbab telah berlaku secara luas di sana dan dimuat di berbagai media massa. Bahkan harus diakuai bahwa pariwisata telanjang di sana juga sama sekali tidak menjaga hifzhu ad-Din.

Oleh sebab itu, saya kira survey  Maarif Institute ini telah cacat secara metodogis karena telah menggunakan kebenaran (metodologi Maqashid Shari’ah) dengan cara yang tidak benar, hal ini membuka kemungkinan adanya cacat serupa pada penilaian kota-kota lainnya. Wallahu a’lam bishshawab.

Teuku Zulkhairi, MA | Direktur Umum Aceh Forum for Study of Islamic Civilization (AFSIC), Mahasiswa Program Doktor UIN Ar-Raniry, Banda Aceh