“Polemik perihal LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan HAM dan Demokrasi, karena pada hakikatnya LGBT merupakan kelainan seksual dalam peri kehidupan seseorang, sebagaimana juga bisa terjadi di bidang yang lain. Maka pendekatan yang benar adalah prevensi dan rehabilitasi sehingga seseorang bisa kembali normal,” demikian rilis yang didapat voa-islam.com, kemarin.
Tindakan itu, misalnya dengan prevensi Kiai Hasyim menyebutkan bahwa hal ini demikian dapat dilakukan sejak dini, yakni melalui cara psikoterapi dan latihan-latihan. Sedangkan untuk rehab sendiri, karena “mereka adalah korban”, Hasyim mengatakan bisa dilakukan dengan sikap atau perilaku masyarakat dengan tidak menjauhi mereka.
“Prevensi dapat dilakukan sejak masa kanak-kanak sebagai tangkal dini apabila terdapat gejala kelainan seksual dengan cara psikoterapi, penyadaran, dan latihan-latihan agar kelainan seks itu tidak berkembang. Sedangkan proses rehabilitasi diperlukan untuk mereka yang sudah terlanjur menjadi bagian dari kelainan tersebut. Sesulit apapun proses rehabilitasi ini harus dilakukan, agar jumlah LGBT tidak membesar. Yang perlu diperhatikan bahwa masyarakat umum tidak boleh menjauhi mereka secara diskriminatif karena sesungguhnya mereka sendiri juga tidak menyukai kelainan tersebut.”
Adapun gembar gembor LGBT untuk diberikan ruang atau kebebasan seperti di Negara lain, kiai Hasyim tidak sependat. Pasalnya, seperti di Negara Eropa dinilai olehnya pengesahan tersebut tidak datang dari nilai-nilai tuhan atau agama.
“Legalisasi yang dilakukan oleh negara-negara barat terhadap LGBT tidak berangkat dari norma etika dan agama, tapi semata karena pendekatan sekularis ateistik.”
Apabila di Indonesia secara sengaja dan terencana ada kampanye pengembangan LGBT maka hal tersebut merupakan bahaya terhadap budaya dan tata sosial agamis di Indonesia.