SujaNEWS.com — Komisioner Hak Asasi Manusia (HAM), Dianto Bachriadi melihat keganasan yang terdapat dalam agraria merupakan hasil dari pencitraan yang dilakukan oleh Joko Widodo selama ini. Ia juga mengatakan bahwa hal demikian melebihi dari apa yang pernah terjadi pada zaman Orde Baru.
“Rezim ini lebih ganas daripada Orde Baru. Jokowi itu pemimpin populi, merakyat, dan itu pencitraan yang baik. Ditambah lagi program Nawacitanya,” ucapnya, Selasa (05/01/2015), di Jakarta Pusat.
Ia melihat bahwa adanya konflik agraria ini terjadi karena telah dibawa ke ranah sosial. Sehingga masyarakat menjadi korbannya. Selain itu, hak-hak petani atau pelaku kegiatan di suatu daerah telah digeser oleh para pelaku kekerasan yang terjadi.
“Karena itu harus dihukum. Sebab hak-hak mereka digeser ke aktor para pelaku konflik. Sehingga yang menjadi korbannya justru masyarakat karena dibawa ke ranah sosial,” jelasnya.
Adapun data-data yang telah ada, dan dikeluarkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sebetulnya justru lebih tinggi dari rentang 11 tahun dibanding dengan 30 tahun lalu. Artinya, menurutnya rezim ini tidak peduli melihat persoalan yang tengah dihadapi.
“Angkat yang pernah dikeluarka oleh KPA lebih besar daripada 30 tahun, jika dibanding 11 tahun belakangan ini. Dan rezim in I terlihat tidak peduli pada keadilan agrarian,” tutupnya. (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)
“Rezim ini lebih ganas daripada Orde Baru. Jokowi itu pemimpin populi, merakyat, dan itu pencitraan yang baik. Ditambah lagi program Nawacitanya,” ucapnya, Selasa (05/01/2015), di Jakarta Pusat.
Ia melihat bahwa adanya konflik agraria ini terjadi karena telah dibawa ke ranah sosial. Sehingga masyarakat menjadi korbannya. Selain itu, hak-hak petani atau pelaku kegiatan di suatu daerah telah digeser oleh para pelaku kekerasan yang terjadi.
“Karena itu harus dihukum. Sebab hak-hak mereka digeser ke aktor para pelaku konflik. Sehingga yang menjadi korbannya justru masyarakat karena dibawa ke ranah sosial,” jelasnya.
Adapun data-data yang telah ada, dan dikeluarkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sebetulnya justru lebih tinggi dari rentang 11 tahun dibanding dengan 30 tahun lalu. Artinya, menurutnya rezim ini tidak peduli melihat persoalan yang tengah dihadapi.
“Angkat yang pernah dikeluarka oleh KPA lebih besar daripada 30 tahun, jika dibanding 11 tahun belakangan ini. Dan rezim in I terlihat tidak peduli pada keadilan agrarian,” tutupnya. (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)