Cerita John Perkins Tentang Freeport Dan Newmont Sebagai VOC Gaya Baru

Cerita John Perkins Tentang Freeport Dan Newmont Sebagai VOC Gaya Baru
SujaNEWS.com —  Kisruh soal perpanjan kontrak Freeport yang bermuara pada terbelahnya para manteri di jajaran kabinet pemerintahan Jokowi-JK, saya jadi ingat beberapa kisah menarik kesaksian John Perkins, mantan bandit ekonomi binaan intelijen Amerika Serikat.

Melalui bukunya yang terkenal “Confession of Economic Hitman dan The Secret History of the American Empire”, sepak-terjang beberapa korporasi AS itu terungkap. Pada 1995, Perkins sempat dikontak sebuah firma konstruksi dan konsultan Stone and Webster Engineering Company(SWEC).

SWEC mengatakan kepada Perkins, berencana untuk membangun proyek kompleks pemrosesan bahan kimia di Indonesia yang bernilai kurang lebih 1 milyar dolar AS. Namun yang bikin SWEC kebingungan, bagaimana caranya membayar salah seorang anggota keluarga Suharto sebesar 150 juta dolar AS. Itulah makanya pihak SWEC bertanya kepada Perkins yang waktu itu masih jadi bandit ekonomi yang punya pengalaman luas bermain di Indonesia.

Perkins menawarkan empat opsi untuk menyuap para pejabat tinggi maupun keluarga para pejabat tersebut. Dalam hal proyeknya SWEC ini yang dimaksud adalah keluarga Suharto. Pertama, sewa bulldozer, mesin Derek, truk, dan peralatan berat lainnya dari perusahaan milik keluarga Suharto dan kroninya dengan harga lebih tinggi dari harga normal.

Keluarga JK bertemu Bos Freeport
Keluarga JK bertemu Bos Freeport


Kedua, dengan mengalihkan kontrak beberapa proyek kepada perusahaan milik keluarga tersebut dengan harga tinggi. Ketiga, menggunakan cara serupa untuk memenuhi kebutuhan makanan, perumahanan, mobil, bahan bakar, dan kebutuhan lainnya. Dan keempat, mereka bisa menawarkan diri untuk memasukkan putra-putri para kroni orang Indonesia itu ke beberapapa kampus prestisius AS, menanggung biasaya mereka, dan menggaji mereka setara dengan konsultan dan pegawai perusahaan ketika berada di AS.

Berdasarkan pengalaman Perkins sebelumnya sebagai bandit ekonomi pelayan beberapa korporasi asing di Indonesia, siasat tersebut biasanya sangat berhasil untuk membelokkan arah kebijakan pemerintahan yang menguntungkan korporasi-korporasi asing. Bahkan beberapa perusahaan dan eksekutif AS yang pernah melakukan praktik-praktik semacam ini tak pernah terseret hukum.

Hanya saja, Perkins mungkin tak membayangkan bahwa tiga tahun kemudian, pada Mei 1998, pemerintahan Suharto runtuh yang berakibat seluruh keluarga dan kroni bisnis Cendana tidak lagi berada dalam posisi mengatur arah kebijakan perekonomian nasional. Alhasil, skenario SWEC hancur berantakan.

Pada 15 Maret 2006, The Boston Globe memuat tajuk di halaman muka: Memo Suap dan Bangkrutnya Stone & Webster. Dalam liputannya the Boston Globe membeberkan kisah tragis bagaimana perusahaan yang berdiri sejak 1889 dan punya sejarah yang cemerlang itu ambruk dengan mencatatkan kebangkrutannya pada 2000. Sehingga perusahaan itu diakuisisi Shaw Group.

Dalam kesimpulan wartawan Globe, Steve Bailey, keruntuhan tersebut berpangkal pada “Memo Kritis” yang membeberkan suatu usaha rahasia perusahaan secara mendetail. Yaitu membayar suap senilai 147 juta dolar AS kepada seorang kerabat Presiden Suharto untuk mengamankan kontrak terbesar sepanjang sejarah Stone & Webster.

Apakah rent seeking activities seperti terungkap melalui kesaksian Perkins tersebut kemudian berhenti menyusul kejatuhan Suharto dan beralihnya pemerintahan ke tangan sipil? Sepertinya, hanya ganti aktor dan ganti aturan main. Sedangkan secara skematik, tetap berada dalam orbit pengaruh kepentingan korporasi-korporasi asing.

Menurut cerita seorang narasumber kepada Perkins, sejak Suharto lengser pada 1998, segalanya malah lebih buruk lagi. Ketika anggaran militer dipangkas dengan perhitungan bahwa para petinggi militer akan bisa dijinakkan, para jenderal tahu ke mana mereka harus meminta bantuan: perusahaan-perusahaan pertambangan dan energi asing.

Model semacam ini menurut Perkins mirip seperti di Nigeria, Kolombia,dan Nikaragua.
Alhasil, selain sumberdaya alam, angkatan bersenjata kita pun berada dalam pengaruh kepentingan-kepentingan korporasi asing. Si nara sumber dengan nama samaran Emil ini, kemudian mendesak Perkins untuk menginformasikan hal ini kepada seluruh dunia.

Agaknya, pertemuan dengan Emil maupun memori pertemuannya dengan seorang petinggi SWEC itulah yang mendorong dirinya menulis kedua buku tersebut.

Masih cerita seputar betapa rapuhnya militer kita dirembesi kepentingan-kepentingan korporasi asing, tak ada berita yang lebih spektakuler selain kelakuan sebuah perusahaan berbasis di New Orleans, Freeport McMoRan Copper and Gold. Betapa tidak. Menurut sebuah artikel The New York Times maupun Associated Press terbitan 30 Desember 2005, para petinggi korporasi tambang dan emas tersebut membayar (baca: Suap) sebesar 20 juta dolar AS kepada para komandan dan unit militer di Papua selama tujuh tahun (yang berarti sejak 1998), sebagai imbalan perlindungan terhadap berbagai fasilitas mereka di sana.

Fakta ini jadi krusial, karena dengan begitu hanya sepertiga dari anggaran untuk angkatan bersenjata Indonesia yang berasal dari anggaran negara. Selebihnya, dikumpulkan dari sumber “tak resmi” sebagai “biaya perlindungan,” sehingga administrasi militer bisa berjalan secara mandiri, terpisah dari kontrol keuangan pemerintah.

Modus pemberian dana bantuan dalam rangka melayani kepentingan korporasi asing, juga diungkap Perkins terkait sepak-terjang Newmont Minig Corp, yang berbasis di Denver.

Sebagai perusahaan penghasil emas terbesar di dunia, Newmont telah membuang arsenic dan merkuri secara illegal ke lautan di Teluk Buyat, Jadi rupanya, berdasarkan kesaksian Perkins, keterlibatan dirinya dalam merekomendasikan pembangunan jaringan listrik, jalanan, pelabuhan dan infrastruktur atas bantuan para bandit ekonomi pada 1970-an, ternyata pada perkembangannya ditujukan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan Newmont menjalankan kegiatan penambangan sekaligus meracuni laut.

Intinya, ketika Suharto lengser dan beralih ke pemerintahan sipil di era reformasi, pada perkembangannya justru perusahaan tambang dan energi mengendalikan sistem regulasi Indonesia yang lemah.

Perkins benar adanya. Lahirnya UU No 22/2001 tentang Migas maupun UU No 20/2002 maupun UU No 30/2009 tentang kelistrikan, sepenuhnya berada dalam supervisi kepentingan-kepentingan korporasi asing.

Bahkan UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara yang pada dasarnya dimaksud untuk melumpuhkan dominasi Freeport dan Newmont melalui kewajiban membangun smelter untuk pemurnian konsentrat, telah dijegal melalui keluarnya PP No/2014, yang tetap memberi hak istimewa kepada kedua korporasi raksasa tersebut.(ts/Hendrajit/Aktual)