Mewujudkan Kemerdekaan Hakiki

Mewujudkan Kemerdekaan Hakiki
SujaNEWS.com — Kemerdekaan Indonesia tak terasa sudah 70 tahun kita rayakan tiap tahunnya. Dengan sukacita kebanyakan penduduk Indonesia merayakan kemerdekaan Indonesia. Hal ini terlihat ketika memasuki bulan Agutus mulai banyak warga yang memasang bendera merah putih. Selain itu ada pula yang merayakan kemerdekaan dengan melaksanakan upacara bendera, mengadakan lomba-lomba (mulai dari lomba makan krupuk sampai lomba panjat pinang), bahkan tak sedikit pula yang mengadakan tasyakur kemerdekaan.

Akan tetapi ada baiknya kita renungi kembali makna kemerdekaan tersebut. Kata merdeka memiliki beberapa makna. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merdeka berarti bebas dari penjajahan atau tidak tergantung pada orang atau pihak tertentu.

Jika kemerdekaan dimaknai sebagai bebas dari penjajahan secara fisik maka Indonesia sudah lama merdeka sejak diproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 silam. Akan tetapi jika melihat makna merdeka secara umum dengan arti bebas dari penjajahan dan tidak tergantung pada pihak tertentu maka bisa dipastikan saat ini Indonesia belum merdeka.

Penjajahan Gaya Baru

Sebetulnya, sejak masa Orde Baru, Indonesia telah masuk dalam cengkeraman penjajahan gaya baru. Pasca Reformasi cengkeraman itu makin kuat. Semua agenda penjajahan gaya baru itu ironisnya dilaksanakan dengan cukup baik dan sigap oleh pemerintahan selama ini. Diantaranya adalah:

1. Privatisasi

Pemerintah telah memprivatisasi 12 BUMN pada periode 1991-2001 dan 10 BUMN pada periode 2001-2006. Pemerintah, pada tahun 2008, melalui Komite Privatisasi BUMN yang diketuai Menko Ekuin Boediono saat itu, mengharapkan agar dari 139 BUMN diprivatisasi menjadi 69 BUMN. Karenanya, privatisasi itu akan terus berjalan.

Kebijakan privatisasi di Indonesia semacam ini sebetulnya banyak didektekan oleh asing seperti dalam LoI dengan IMF; dan telah diatur sedemikian rupa seperti yang tertuang dalam dokumen milik Bank Dunia yang berjudul, Legal Guidelines for Privatization Programs. Dalam dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008 disebutkan juga bahwa lembaga bantuan Amerika Serikat ini bersama Bank Dunia aktif dalam permasalahan privatisasi di Indonesia.


Bank Pembangunan Asia (ADB)-dalam News Release yang berjudul, Project Information: State-Owned Enterprise Governance and Privatization Program, tanggal 4 Desember 2001-memberikan pinjaman US$ 400 juta, juga untuk program privatisasi BUMN di Indonesia.

2. Pencabutan Subsidi

Pencabutan subsidi dijadikan sebagai pintu masuk bagi asing untuk melakukan agenda penjajahan. Pencabutan subsidi BBM, misalnya, meniscayakan harga BBM dijual dengan harga pasar. Itu berarti akan memberikan bagi perusahaan asing ikut bermain dalam bisnis migas di sektor hilir. Juga pencabutan subsidi di bidang pertanian (seperti pencabutan subsidi pupuk), kesehatan, pendidikan, dll.

3. Penguasaan SDA dan perekonomian oleh Asing

Di bidang perminyakan, penghasil minyak utama didominasi oleh asing. Diantaranya, Chevron 44%, Pertamina & mitra 16%, Total E&P 10%, Conoco Phillip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1 % lainnya 3% (sumber: Dirjen Migas, 2009).

Sementara disektor hilir migas, mulai November 2005 keran investasi hilir migas dibuka bagi investor swasta dalam negeri dan asing. Pada tahun 2005 saja, menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro saat itu, sudah ada 7 investor yang sudah menyatakan komitmen melakukan investasi di sektor hilir migas tersebut. (CEO, No. 5. Th. I, Februari 2005).

Di bidang pertambangan, lebih dari 70% dikuasai asing. Porsi operator minyak dan gas, 75 % dikuasai asing. Asing juga menguasai 50,6% aset perbankan nasional per Maret 2011. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Begitu pula telekomunikasi dan industri sawit pun juga lebih banyak dikuasai asing (Kompas, 22/5).

4. Utang Luar Negeri

Total utang pemerintah Indonesia hingga April 2011 mencapai Rp1.697,44 triliun. Rincian pinjaman yang diperoleh pemerintah pusat hingga akhir April 2011 adalah: Bilateral: US$42,98 miliar, Multilateral: US$23,18 miliar; Komersial: US$3,21 miliar; Supplier: US$60 juta dan Pinjaman dalam negeri US$60 juta (detikfinance.com, 12/5).

5. Politik dan Hukum

Undang -undang yang ada di Indonesia banyak yang teridikasi pesanan asing. Setidaknya ada 76 Undang-Undang (UU) dan puluhan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengakomodir kepentingan asing. Hal ini diungkapkan anggota DPR Eva Kusuma Sundari,

Dia mendapatkan informasi ter sebut dari hasil kajian Badan Intelijen Nasional (BIN) menengarai antara lain tiga lembaga strategis dari Amerika Serikat yaitu World Bank (Bank Dunia), International Monetary Fund (IMF), dan United States Agency for International Development (USAID) ada dibelakang semua itu.

Jika kita ingin berbicara jujur akar permasalahan yang sebenanya ada pada sistem kehidupan yang dipakai di Indonesia. Aturan yang dipakai Indonesia sejak “merdeka” sampai sekarang lah yang memberikan banyak celah bagi Barat untuk menjajah Indonesia dari berbagai  aspek. Terbukti dengan adanya demokrasi banyak lahir kebijakan-kebijakan yang justru merugikan rakyat.

Kemerdekaan Hakiki

Kemerdekaan yang harus diperjuangkan  pada era modern ini adalah  kemerdekaan dari segala bentuk peribadatan kepada selain Allah Swt. Jika seorang manusia masih dicekam ketakutan kepada sesama manusia, atau makhluk lain, bisakah ia disebut merdeka? Padahal manusia sama derajatnya di sisi Allah SWT. Yang membedakan hanyalah ketakwaan-nya (QS Al-Hujurat [49]: 13).

Kemerdekaan berakidah ini tentu saja berimplikasi pada kemerdekaan menjalankan syariah. Jika Islam hendak dilaksanakan secara kaffah tetapi justru dihalangi dan dibatasi, sesungguhnya kemerdekaan hakiki belum kita peroleh.

Nyatalah, negeri ini masih belum merdeka secara hakiki. Tak lain karena negeri ini berpaling dari petunjuk Allah Swt yang ada di dalam Alquran dan as-Sunnah; berpaling dari sistem Islam. Sebaliknya, negeri ini mengambil sistem sekular kapitalis demokrasi sebagai petunjuk dan sistem untuk mengatur kehidupan. Akibatnya, berbagai bentuk kerusakan (fasad) melanda negeri ini. Negeri ini pun tak bisa lepas dari penjajahan, eksploitasi dan kontrol dari penjajah (Lihat: QS ar-Rum [30]: 41).

Dengan kembali merujuk pada al-Quran, tidak lain dengan jalan menerapkan hukum-hukumnya (syariah Islam) secara total dalam sistem Islam, Khilafah ar-Rasyidah, niscaya kerahmatan akan menjadi riil dan kemerdekaan yang hakiki akan terwujud.


Maulida Nur Hidayati
Alumnus Universitas Padjadjaran (Unpad)
Tinggal di Jatinangor, Kab. Sumedang