SujaNEWS.com — Ramadhan tahun ini merupakan ujian bagi Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, Cina. Beberapa wilayah di Xinjiang diberlakukan larangan puasa bagi pelajar, pegawai negeri, dan guru. Selain pembatasan puasa, pemerintah di Cina baik pusat maupun lokal juga membatasi kegiatan keagamaan yakni melarang sholat malam serta kegiatan keagamaan lainnya.
Saat ini ada beberapa wilayah di Provinsi Xinjiang yang diterapkan larangan puasa dan pembatasan kegiatan keagamaan yakni Bole, Qiemo, dan Yili. Di Bole, tidak hanya puasa saja yang dilarang, namun mencakup kegiatan shalat malam dan kegiatan lain terkait dengan agama. Mirisnya pelarangan tersebut dikatakan oleh pejabat setempat dan tercantum dalam laporan rapat pekan ini yang diupload di situs pemerintah setempat.
Di Qiemo, pemeriksaan untuk memastikan larangan puasa di wilayah tersebut akan ditingkatkan dengan alasan menjamin stabilitas di wilayah tersebut. Di Yili, petugas Masjid harus mengecek identitas pengunjung. Semua itu baru larangan puasa dan pembatasan kegiatan keagamaan yang saat ini diketahui.
Secara historis, larangan puasa dan pembatasan kegiatan keagamaan di Provinsi Xinjiang sudah diterapkan beberapa tahun sebelumnya, sehingga diperkirakan masih banyak lagi wilayah di Provinsi Xijiang selain 3 wilayah yang disebutkan diatas yang diterapkan larangan puasa dan kegiatan keagamaan lainnya. Larangan puasa dan pembatasan kegiatan keagamaan tersebut menghalangi Muslim Uighur untuk memenuhi kewajiban berdasarkan agamanya.
Kewajiban negara berdasarkan hukum internasional yakni menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia yang berupa kebebasan penduduknya dalam melaksanakan perintah agama,namun tampaknya saat ini kewajiban tersebut tidak diterapkan oleh Cina.
Menyatakan berdasarkan hukum kebiasaan internasional, negara wajib menjamin penduduknya dalam melaksanakan perintah agamanya, karena kebebasan memilih agama dan menjalankan agamanya merupakan hak asasi manusia. Kewajiban tersebut bisa dilihat dalam pasal 18 pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang saat ini ketentuannya diakui sebagai hukum kebiasaan internasional. Adapun bunyi pasal 18 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ketentuan lengkapnya sebagai berikut:
“Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.”
Ketentuan tersebut mewajibkan negara untuk menjamin pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia agar diterapkan. Namun sepanjang larangan puasa dan pembatasan kegiatan keagamaan masih diterapkan oleh Cina, pemerintah pusat maupun pemerintah lokal, maka dapat dipastikan bahwa Cina belum melaksanakan kewajibannya berdasarkan hukum internasional untuk menjamin penduduknya dalam melaksanakan perintah agama. []
Oleh: Sylviani Abdul Hamid, SH.I., MH, Advokat dan Direktur SNH Advocacy Center
Saat ini ada beberapa wilayah di Provinsi Xinjiang yang diterapkan larangan puasa dan pembatasan kegiatan keagamaan yakni Bole, Qiemo, dan Yili. Di Bole, tidak hanya puasa saja yang dilarang, namun mencakup kegiatan shalat malam dan kegiatan lain terkait dengan agama. Mirisnya pelarangan tersebut dikatakan oleh pejabat setempat dan tercantum dalam laporan rapat pekan ini yang diupload di situs pemerintah setempat.
Di Qiemo, pemeriksaan untuk memastikan larangan puasa di wilayah tersebut akan ditingkatkan dengan alasan menjamin stabilitas di wilayah tersebut. Di Yili, petugas Masjid harus mengecek identitas pengunjung. Semua itu baru larangan puasa dan pembatasan kegiatan keagamaan yang saat ini diketahui.
Secara historis, larangan puasa dan pembatasan kegiatan keagamaan di Provinsi Xinjiang sudah diterapkan beberapa tahun sebelumnya, sehingga diperkirakan masih banyak lagi wilayah di Provinsi Xijiang selain 3 wilayah yang disebutkan diatas yang diterapkan larangan puasa dan kegiatan keagamaan lainnya. Larangan puasa dan pembatasan kegiatan keagamaan tersebut menghalangi Muslim Uighur untuk memenuhi kewajiban berdasarkan agamanya.
Kewajiban negara berdasarkan hukum internasional yakni menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia yang berupa kebebasan penduduknya dalam melaksanakan perintah agama,namun tampaknya saat ini kewajiban tersebut tidak diterapkan oleh Cina.
Menyatakan berdasarkan hukum kebiasaan internasional, negara wajib menjamin penduduknya dalam melaksanakan perintah agamanya, karena kebebasan memilih agama dan menjalankan agamanya merupakan hak asasi manusia. Kewajiban tersebut bisa dilihat dalam pasal 18 pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang saat ini ketentuannya diakui sebagai hukum kebiasaan internasional. Adapun bunyi pasal 18 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ketentuan lengkapnya sebagai berikut:
“Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.”
Ketentuan tersebut mewajibkan negara untuk menjamin pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia agar diterapkan. Namun sepanjang larangan puasa dan pembatasan kegiatan keagamaan masih diterapkan oleh Cina, pemerintah pusat maupun pemerintah lokal, maka dapat dipastikan bahwa Cina belum melaksanakan kewajibannya berdasarkan hukum internasional untuk menjamin penduduknya dalam melaksanakan perintah agama. []
Oleh: Sylviani Abdul Hamid, SH.I., MH, Advokat dan Direktur SNH Advocacy Center