SujaNEWS.com — Pertemuan pleno International Cooperation Review Group (ICRG) Financial Action Task Force (FATF), di Brisbane, Australia, 21-26 Juni, telah mengeluarkan Indonesia secara keseluruhan dari daftar “negara yang memiliki kelemahan strategis dalam rezim anti pencucian uang dan pemberantasan pendanaan terorisme”.
Dalam pertemuan FATF tersebut, delegasi RI yang dipimpin oleh Dirjen Multilateral Kemlu RI Hasan Kleib telah menyampaikan kepada para negara anggota FATF berbagai upaya yang dilakukan Indonesia dalam memperkuat rezim pemberantasan pendanaan terorisme.
Penguatan legislasi nasional Indonesia, kata Hasan, dilakukan melalui pengesahan UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme serta melalui pembuatan Peraturan Bersama antara Kemlu RI, Kepolisian RI, PPATK, BNPT, dan Mahkamah Agung yang telah diundangkan pada tanggal 11 Februari 2015, dan telah ditempatkan dalam Berita Negara RI Tahun 2015 Nomor 231.
“Peraturan Bersama ini berfungsi sebagai petunjuk teknis pelaksanaan UU No. 9 Tahun 2013,” terang Hasan dalam keterangan resminya, Selasa (23/62015).
Menurut Hasan, upaya yang dilakukan Indonesia itu selain demi kepentingan nasional juga merupakan bentuk kontribusi Indonesia terhadap perdamaian dan keamanan dunia dengan memutus sumber pendanaan untuk kegiatan terorisme.
Sebelumnya, Indonesia masuk ke dalam daftar hitam negara rawan pendanaan teroris sejak 2012 karena memiliki kelemahan strategis dalam rezim pendanaan terorisme. Hal ini membuat Indonesia berupaya untuk keluar dari daftar tersebut dan menunjukan kepada dunia bahwa transaksi perbankan atau keuangan dari dan ke Indonesia aman.
Pada 24 Februari 2015 sidang FATF secara bulat mengeluarkan Indonesia dari daftar hitam dan memasukannya ke dalam daftar hijau setelah melalui rangkaian evaluasi oleh ICRG selama dua tahun ini.
Meski bukan termasuk negara anggota FATF, keanggotaan Indonesia dalam Asia Pacific Group on Money Laundering (APGML) membuat Indonesia terlibat dalam FATF. Perlu diketahui APGML merupakan asosiasi dari FATF. [rn/Islampos]
Dalam pertemuan FATF tersebut, delegasi RI yang dipimpin oleh Dirjen Multilateral Kemlu RI Hasan Kleib telah menyampaikan kepada para negara anggota FATF berbagai upaya yang dilakukan Indonesia dalam memperkuat rezim pemberantasan pendanaan terorisme.
Penguatan legislasi nasional Indonesia, kata Hasan, dilakukan melalui pengesahan UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme serta melalui pembuatan Peraturan Bersama antara Kemlu RI, Kepolisian RI, PPATK, BNPT, dan Mahkamah Agung yang telah diundangkan pada tanggal 11 Februari 2015, dan telah ditempatkan dalam Berita Negara RI Tahun 2015 Nomor 231.
“Peraturan Bersama ini berfungsi sebagai petunjuk teknis pelaksanaan UU No. 9 Tahun 2013,” terang Hasan dalam keterangan resminya, Selasa (23/62015).
Menurut Hasan, upaya yang dilakukan Indonesia itu selain demi kepentingan nasional juga merupakan bentuk kontribusi Indonesia terhadap perdamaian dan keamanan dunia dengan memutus sumber pendanaan untuk kegiatan terorisme.
Sebelumnya, Indonesia masuk ke dalam daftar hitam negara rawan pendanaan teroris sejak 2012 karena memiliki kelemahan strategis dalam rezim pendanaan terorisme. Hal ini membuat Indonesia berupaya untuk keluar dari daftar tersebut dan menunjukan kepada dunia bahwa transaksi perbankan atau keuangan dari dan ke Indonesia aman.
Pada 24 Februari 2015 sidang FATF secara bulat mengeluarkan Indonesia dari daftar hitam dan memasukannya ke dalam daftar hijau setelah melalui rangkaian evaluasi oleh ICRG selama dua tahun ini.
Meski bukan termasuk negara anggota FATF, keanggotaan Indonesia dalam Asia Pacific Group on Money Laundering (APGML) membuat Indonesia terlibat dalam FATF. Perlu diketahui APGML merupakan asosiasi dari FATF. [rn/Islampos]