SujaNEWS.com — Apa yang Anda lakukan bila merasa salah jurusan ketika kuliah? Berhenti kuliah atau sekadar lulus karena terlanjur memulai? Pengalaman Tsummadana Wulan Setyoningrum bisa jadi contoh positif bagi anak muda. Sejatinya, perempuan yang akrab disapa Wulan ini bercita-cita jadi dokter. Lantaran terhambat biaya kuliah, dia mengambil jurusan Teknik Informatika di Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), Semarang.
Meski mengaku kecewa, Wulan tak lantas berhenti kuliah. Justru sebagai bentuk pengabdian pada orangtua, ia menyelesaikan kuliah dengan prestasi cumlaude. Menurut Wulan, ia terselamatkan oleh mata kuliah Kewirausahaan. Saat itu, dosennya memberi tugas merintis usaha tanpa modal.
Tugas itu membuat semangat kuliahnya membuncah. “Karena saya bisa jualan, jadi itu yang saya pilih,” kata dia. Wulan pun mulai menjual baju muslimah.
Awalnya pada 2009, Wulan menjual baju bekas layak pakai miliknya di pasar. Melihat barangnya laku, ia kian semangat menjual baju muslim. Ia pun bekerjasama dengan tiga merek baju muslim. “Saya buka sistem pre-order. Pembeli membayar uang muka sehingga saya tak perlu modal ketika memesan baju,” ujarnya.
Di samping itu, Wulan pernah bergabung dalam bisnis multilevel marketing (MLM) baju muslimah di Semarang selama dua tahun. Wulan mengaku mendapat banyak pelajaran bisnis dari MLM tersebut. “Apa yang saya dapatkan selama MLM saya terapkan di bisnis sendiri,” ungkap dia.
Lantaran kebanjiran permintaan, Wulan akhirnya ikut memproduksi baju muslim sendiri dengan merek Miulan Hijab. Pasalnya, pemasok yang bekerjasama dengannya tak sanggup lagi memenuhi permintaan tersebut. “Saya melihat itu sebagai peluang karena supplier sudah angkat tangan,” cetusnya.
Selain itu, Wulan ingin menciptakan lapangan kerja untuk anak muda yang tinggal dekat rumahnya, kawasan Ngemplak, Simongan, Semarang. Untuk memenuhi permintaan, ia tetap bekerjasama dengan pemasok. Waktu itu, omzetnya sekitar Rp 20 juta per bulan.
Kini, Wulan memproduksi berbagai baju muslim, terutama kerudung dan gamis. Harga produknya berkisar dari Rp 40.000–Rp 400.000 per potong. Saban bulan, perempuan kelahiran Semarang, 23 Desember 1990, ini bisa memproduksi lebih dari 10.000 potong kerudung dan 2.000 gamis.
Tak berhenti pada baju muslim, sejak tahun lalu, Wulan mulai membuat boneka muslimah. Boneka ini ia banderol seharga Rp 95.000–Rp 155.000 per buah. Meski tergolong produk baru, ia bisa menjual hingga 1.000 boneka per bulan.
Berdayakan masyarakat
Sejak awal memasarkan produk Miulan Hijab, Wulan menggunakan sistem reseller. Ia belajar dari bisnis MLM yang sempat ia ikuti. Namun, ia menolak usahanya sebagai usaha MLM. “Saya mendorong distributor untuk berjualan, bukan sekadar cari agen sebagai downline,” tegasnya.
Untuk tiap kota, ia hanya membolehkan seorang distributor untuk menghindari persaingan tak sehat. Ia juga menekankan agar distributor tak berlaku nakal dengan banting harga. Bagi distributor, ia menetapkan potongan harga 30 persen. Sementara itu, diskon produk untuk agen ditentukan oleh distributor. Wulan juga memberi target penjualan pada masing-masing distributor.
Wulan menyadari bahwa penjualan baju muslim di dalam negeri bersaing ketat. Di situlah, dia menekankan pentingnya inovasi dan branding. Tiap bulan, ia menelurkan desain model baju muslim terbaru.
Karena tak punya latar belakang desainer, Wulan rajin melihat referensi desain baju muslim di internet. Awalnya, ia mempercayakan desain pada ibunya yang memang hobi menjahit. Sekarang, ia sudah punya tim desain yang dipercayai untuk memperbarui model produk Miulan Hijab. Akan tetapi, sentuhan akhir, terutama pada bagian warna, tetap berada di tangan Wulan.
Wulan cenderung memilih warna cerah untuk produk Miulan Hijab. Ini disesuaikan dengan target pasarnya, yakni perempuan mulai 17 tahun sampai ibu muda berusia 35 tahun. “Warna cerah menunjukkan bahwa konsumen Miulan Hijab adalah orang-orang yang penuh semangat,” tutur sulung dari empat bersaudara ini.
Sampai saat ini, Wulan mengaku masih kesulitan memenuhi permintaan pasar. Dari pengalaman, Wulan bilang, usaha baju muslim bisa naik hingga tiga kali lipat saban tahun. Apalagi menjelang Lebaran, permintaan sangat banyak. Dia pun menggaet mitra usaha yang bisa mendukung bagian produksi. “Saya tidak bisa bikin stok karena produk Miulan selalu habis, jadi mau tak mau harus kerjasama dengan orang lain,” kata perempuan yang kini mempekerjakan 32 karyawan ini.
Untuk mengatasi kewalahan dalam bidang produksi, Wulan punya strategi jitu. Ia sempat curhat pada ibunya mengenai kendala tersebut. Lalu sang ibu menyarankan agar Wulan minta bantuan ibu rumahtangga.
Mulai tahun lalu, ia memberdayakan ibu rumahtangga yang tinggal di sekitar rumahnya. Para ibu rumahtangga tersebut bertugas untuk membuat aksesori yang akan ditempelkan di baju. “Saya memberi bahan dan alat untuk membuat hiasan bunga, lalu mereka kerjakan di rumah,” jelasnya.
Saat ini, ada sekitar 40 ibu rumah tangga yang diberdayakan oleh Wulan. Dalam sehari, ibu rumah tangga itu bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp 30.000–Rp 40.000 dengan membuat aksesori kerudung.
Berkat kegigihannya dalam usaha, Wulan mendapat penghargaan wirausaha dari sebuah bank untuk kategori bidang usaha kreatif. Di masa mendatang, Wulan berharap produknya bisa dipakai hingga luar negeri. “Saya juga berharap anak muda tidak menyia-nyiakan waktu tak jelas, tapi berkarya sehingga semakin banyak produk Indonesia bisa go international, “ ujar Wulan.
Diminta menjadi PNS
Sudah lima tahun lebih Tsummadana Wulan Setyoningrum malang melintang menjadi pengusaha baju muslimah. Ternyata, kesuksesannya tak mengubah pendirian orangtua yang menginginkan Wulan jadi pegawai negeri sipil.
Wulan bercerita, sejak lama orangtuanya, Supartono dan Mustami, berharap ia menjadi pegawai negeri sipil (PNS) seusai mendapat gelar sarjana. Namun, karena merasa asyik jadi jadi pengusaha, Wulan mencari dalih. “Saya bilang mau melanjutkan kuliah, setelah itu baru jadi PNS,” ucap perempuan berusia 24 tahun ini.
Wulan memahami keinginan orangtuanya tersebut. Sebagai orangtua, mereka melihat, pengusaha merupakan pekerjaan yang kurang jelas karena pendapatan kerap tidak menentu.
Di sisi lain, Wulan merasa bertanggung jawab terhadap karyawan dan orang-orang yang menjadi distributor dan reseller Miulan Hijab. “Kalau saya berhenti, mereka jadi terhenti juga usahanya. Saya tidak mau itu,” ungkap dia.
Maka, setelah tamat kuliah dari Udinus, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan Magister Manajemen di Universitas Diponegoro. Wulan ingin memantapkan pengetahuannya dalam bisnis. Ia juga bersyukur ada moratorium penerimaan PNS. Sebab, itu berarti, ia bisa melanjutkan passion-nya sebagai wirausahawan.
Produk baru
Tahun ini, ia akan berekspansi dengan membangun gudang dan outlet Miulan Hijab. Selanjutnya, Wulan juga mempersiapkan beberapa produk baru, seperti baju renang muslimah dan baju muslim pria.
Wulan menambahkan, untuk berusaha, modal bukanlah persoalan utama. Bila tak punya modal, kreatiflah dalam merintis usaha, misalnya dengan menjual produk orang lain. “Usaha itu ada prosesnya, jadi jalani saja dulu dari yang paling kecil dan terus berinovasi agar usaha terus berkembang,” ucap dia. (Marantina)
Meski mengaku kecewa, Wulan tak lantas berhenti kuliah. Justru sebagai bentuk pengabdian pada orangtua, ia menyelesaikan kuliah dengan prestasi cumlaude. Menurut Wulan, ia terselamatkan oleh mata kuliah Kewirausahaan. Saat itu, dosennya memberi tugas merintis usaha tanpa modal.
Tugas itu membuat semangat kuliahnya membuncah. “Karena saya bisa jualan, jadi itu yang saya pilih,” kata dia. Wulan pun mulai menjual baju muslimah.
Awalnya pada 2009, Wulan menjual baju bekas layak pakai miliknya di pasar. Melihat barangnya laku, ia kian semangat menjual baju muslim. Ia pun bekerjasama dengan tiga merek baju muslim. “Saya buka sistem pre-order. Pembeli membayar uang muka sehingga saya tak perlu modal ketika memesan baju,” ujarnya.
Di samping itu, Wulan pernah bergabung dalam bisnis multilevel marketing (MLM) baju muslimah di Semarang selama dua tahun. Wulan mengaku mendapat banyak pelajaran bisnis dari MLM tersebut. “Apa yang saya dapatkan selama MLM saya terapkan di bisnis sendiri,” ungkap dia.
Lantaran kebanjiran permintaan, Wulan akhirnya ikut memproduksi baju muslim sendiri dengan merek Miulan Hijab. Pasalnya, pemasok yang bekerjasama dengannya tak sanggup lagi memenuhi permintaan tersebut. “Saya melihat itu sebagai peluang karena supplier sudah angkat tangan,” cetusnya.
Selain itu, Wulan ingin menciptakan lapangan kerja untuk anak muda yang tinggal dekat rumahnya, kawasan Ngemplak, Simongan, Semarang. Untuk memenuhi permintaan, ia tetap bekerjasama dengan pemasok. Waktu itu, omzetnya sekitar Rp 20 juta per bulan.
Kini, Wulan memproduksi berbagai baju muslim, terutama kerudung dan gamis. Harga produknya berkisar dari Rp 40.000–Rp 400.000 per potong. Saban bulan, perempuan kelahiran Semarang, 23 Desember 1990, ini bisa memproduksi lebih dari 10.000 potong kerudung dan 2.000 gamis.
Tak berhenti pada baju muslim, sejak tahun lalu, Wulan mulai membuat boneka muslimah. Boneka ini ia banderol seharga Rp 95.000–Rp 155.000 per buah. Meski tergolong produk baru, ia bisa menjual hingga 1.000 boneka per bulan.
Berdayakan masyarakat
Sejak awal memasarkan produk Miulan Hijab, Wulan menggunakan sistem reseller. Ia belajar dari bisnis MLM yang sempat ia ikuti. Namun, ia menolak usahanya sebagai usaha MLM. “Saya mendorong distributor untuk berjualan, bukan sekadar cari agen sebagai downline,” tegasnya.
Untuk tiap kota, ia hanya membolehkan seorang distributor untuk menghindari persaingan tak sehat. Ia juga menekankan agar distributor tak berlaku nakal dengan banting harga. Bagi distributor, ia menetapkan potongan harga 30 persen. Sementara itu, diskon produk untuk agen ditentukan oleh distributor. Wulan juga memberi target penjualan pada masing-masing distributor.
Wulan menyadari bahwa penjualan baju muslim di dalam negeri bersaing ketat. Di situlah, dia menekankan pentingnya inovasi dan branding. Tiap bulan, ia menelurkan desain model baju muslim terbaru.
Karena tak punya latar belakang desainer, Wulan rajin melihat referensi desain baju muslim di internet. Awalnya, ia mempercayakan desain pada ibunya yang memang hobi menjahit. Sekarang, ia sudah punya tim desain yang dipercayai untuk memperbarui model produk Miulan Hijab. Akan tetapi, sentuhan akhir, terutama pada bagian warna, tetap berada di tangan Wulan.
Wulan cenderung memilih warna cerah untuk produk Miulan Hijab. Ini disesuaikan dengan target pasarnya, yakni perempuan mulai 17 tahun sampai ibu muda berusia 35 tahun. “Warna cerah menunjukkan bahwa konsumen Miulan Hijab adalah orang-orang yang penuh semangat,” tutur sulung dari empat bersaudara ini.
Sampai saat ini, Wulan mengaku masih kesulitan memenuhi permintaan pasar. Dari pengalaman, Wulan bilang, usaha baju muslim bisa naik hingga tiga kali lipat saban tahun. Apalagi menjelang Lebaran, permintaan sangat banyak. Dia pun menggaet mitra usaha yang bisa mendukung bagian produksi. “Saya tidak bisa bikin stok karena produk Miulan selalu habis, jadi mau tak mau harus kerjasama dengan orang lain,” kata perempuan yang kini mempekerjakan 32 karyawan ini.
Untuk mengatasi kewalahan dalam bidang produksi, Wulan punya strategi jitu. Ia sempat curhat pada ibunya mengenai kendala tersebut. Lalu sang ibu menyarankan agar Wulan minta bantuan ibu rumahtangga.
Mulai tahun lalu, ia memberdayakan ibu rumahtangga yang tinggal di sekitar rumahnya. Para ibu rumahtangga tersebut bertugas untuk membuat aksesori yang akan ditempelkan di baju. “Saya memberi bahan dan alat untuk membuat hiasan bunga, lalu mereka kerjakan di rumah,” jelasnya.
Saat ini, ada sekitar 40 ibu rumah tangga yang diberdayakan oleh Wulan. Dalam sehari, ibu rumah tangga itu bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp 30.000–Rp 40.000 dengan membuat aksesori kerudung.
Berkat kegigihannya dalam usaha, Wulan mendapat penghargaan wirausaha dari sebuah bank untuk kategori bidang usaha kreatif. Di masa mendatang, Wulan berharap produknya bisa dipakai hingga luar negeri. “Saya juga berharap anak muda tidak menyia-nyiakan waktu tak jelas, tapi berkarya sehingga semakin banyak produk Indonesia bisa go international, “ ujar Wulan.
Diminta menjadi PNS
Sudah lima tahun lebih Tsummadana Wulan Setyoningrum malang melintang menjadi pengusaha baju muslimah. Ternyata, kesuksesannya tak mengubah pendirian orangtua yang menginginkan Wulan jadi pegawai negeri sipil.
Wulan bercerita, sejak lama orangtuanya, Supartono dan Mustami, berharap ia menjadi pegawai negeri sipil (PNS) seusai mendapat gelar sarjana. Namun, karena merasa asyik jadi jadi pengusaha, Wulan mencari dalih. “Saya bilang mau melanjutkan kuliah, setelah itu baru jadi PNS,” ucap perempuan berusia 24 tahun ini.
Wulan memahami keinginan orangtuanya tersebut. Sebagai orangtua, mereka melihat, pengusaha merupakan pekerjaan yang kurang jelas karena pendapatan kerap tidak menentu.
Di sisi lain, Wulan merasa bertanggung jawab terhadap karyawan dan orang-orang yang menjadi distributor dan reseller Miulan Hijab. “Kalau saya berhenti, mereka jadi terhenti juga usahanya. Saya tidak mau itu,” ungkap dia.
Maka, setelah tamat kuliah dari Udinus, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan Magister Manajemen di Universitas Diponegoro. Wulan ingin memantapkan pengetahuannya dalam bisnis. Ia juga bersyukur ada moratorium penerimaan PNS. Sebab, itu berarti, ia bisa melanjutkan passion-nya sebagai wirausahawan.
Produk baru
Tahun ini, ia akan berekspansi dengan membangun gudang dan outlet Miulan Hijab. Selanjutnya, Wulan juga mempersiapkan beberapa produk baru, seperti baju renang muslimah dan baju muslim pria.
Wulan menambahkan, untuk berusaha, modal bukanlah persoalan utama. Bila tak punya modal, kreatiflah dalam merintis usaha, misalnya dengan menjual produk orang lain. “Usaha itu ada prosesnya, jadi jalani saja dulu dari yang paling kecil dan terus berinovasi agar usaha terus berkembang,” ucap dia. (Marantina)