Mengapa Bukan Jokowi dan Mengapa Umat Islam Harus Pilih Prabowo ?

Mengapa Bukan Jokowi dan Mengapa Umat Islam Harus Pilih Prabowo ?
SUJA - Saat laporan ini disiapkan—15 Mei-- semua media sangat heboh memastikan Capres Prabowo akan berhadapan dengan Capres Jokowi dalam Pilpres 9 Juli 2014 mendatang. Hampir dipastikan Prabowo didamping Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa, sementara Jokowi diperkirakan didampingi Jusuf Kalla, dan didukung Abu Rizal Bakrie bersama Golkar. Dengan posisi ini, lembaga survei pun lebih sibuk “berjualan”perhitungannya dan ramalannya.Ada wacana koalisi Demokrat dan Golkar yang semula dikabarkan akan mengusung Sri Sultan Hamengku Buwono Ke-X, tapi belakangan muncul pasangan ARB-Pramono Edhi Wibowo, sebagai Poros Ketiga.

Sampai 15 Mei 2014, lembaga survei mengunggulkan kemenangan bagi Jokowi yang kini bersama partai-partai pendukungnya, yakni PDIP, Nasdem, PKB, dan Golkar mengantongi suara 49,46% sementara Prabowo bersama Gerindra, PKS, PPP, dan PAN hanya mengantongi suara 32,70%. Partai lain Partai Demokrat (10,19%) ,Hanura (5,26%), PBB (1,46%) dan PKPI (0,91%), jika bergabung hanya berjumlah 17,82% suara tidak mencukup untuk membangun poros Ketiga untuk mencalonkan Capres dan Cawapres sendiri. Walau demikian beredar berita Demokrat sedang mengajak Golkar membangun Poros Ketiga, dengan mengusung Sri Sultan Hamengkubuwono Ke-X menjadi Capres tandingan.—belakangan kabarnya koalisi Golkar- Demokrat ini akan mengusung ARB dengan Cawapres  Pramano Edhie Wibowo, ipar SBY--  Lembaga survei dan pengamat politik langganan talk show di televisi pun, sibuk berteriak paling kencang dengan memastikan pasangan Jokowi dengan Jusuf Kalla atau Abraham Samad, akan memenangi Pilpres 9 Juli 2014, hanya dalam satu putaran saja.

Amboi para pengamat politik ini, sungguh tidak tahu malu ketika perhitungannya meleset total dalam Pemilu Legislatif (Pileg)  9 April, mereka bagai tak berdosa terus berceloteh tanpa pernah mau mengoreksi prediksinya—yang salah total itu-- misalnya pengamat Burhanuddin Muhtadi yang memprediksi PDI-P akan menang Pileg  mutlak sehingga untuk Pilpres tidak memerlukan lagi koalisi dengan partai manapun. Ternyata PDI-P hanya mendapat suara 18% saja. Bersama-sama para pengamat lain seperti Syaiful Mujani, Hanta Yudha, Indria Samego, Chartha dan lain-lain bahkan acapkali mengulas “jeblognya” semua partai Islam yang tidak akan lolos Parlement Treshold. Ketika prediksinya meleset bersama belasan lembaga survei, mereka tidak pernah meralat prediksinya yang meleset total itu. Kini dengan sombong meramal-ramal lagi “memastiikan” kemenangan Jokowi yang mutlak atas Prabowo. Tampak meyakinkan mereka ini memang  pengamat dan lembaga“bayaran”.

Pers cetak ataupun elektronika ikut membangun opini bagi kemenangan Joko Widodo secara tidak masuk akal. Segala kelemahan bahkan “kebobrokan” Jokowi tidak pernah diwartakan, sebaliknya bersama tim sukses, termasuk tim pinter cybernya, menghambur-hambur citra positif yang berkelebian  sehingga Jokowi menjadi bak tokoh Satrio Piningit yang kini hadir hendak membebaskan Indonesia dari kehancuran. Sangat berlebihan. Tengok saja memaksa kampanye pada soal-soal Ujian Nasional anak-anak SMA bahkan SMP. Tengok lagi pendaftaran Capres pun belum dibuka—18 s/d 20 Mei—tapi baliho, spanduk dan kampanye Capres Jokowi sudah beredar di kota-kota besar. Di Makassar 16 Mei terpajang Capres dan pasangannya Abraham Samad. Di Jakarta sejak 12 Mei beredar baliho-baliho besar Jokowi : Jujur, lugu dan sederhana dengan merinci kesederhanaan busana yang dikenakannya. Baju Rp100.000, perhiasan 0,-- walau di foto terlihat jelas Jokowi mengenakan cincin emas--, celana Rp120.000, dan sepatu Rp160.000.

Terus terang hanya tablod Suara Islam ini yang dengan konsisten  terus-menerus sejak pertengahan 2012, hingga saat ini, mewartakan seluruh kelemahan, kebohongan, dan manipulasi Jokowi, ketika ia dicalonkan menjadi gubernur DKI Jakarta. Jokowi tidak pantas menjadi gubernur DKI Jakarta, apalagi presiden RI. Manipulasi dan pencitraan terhadap Jokowi dibongkar terus-menerus tanpa jeda oleh tabloid ini, walau laporan itu tetap mengedepankan kode etik pers yang bertanggungjawab dan mengedepankan nilai keadilan dan kebenaran bagi kemasylahatan masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam. Namun mesin manipulasi Jokowi terus “melindas” kesadaran rakyat Indonesia yang  tampaknya makin menelannya dengan mentah-mentah tipu daya ini.

Hanya Petugas Partai

Puja-puji yang berlebihan buat Jokowi ini rupanya membuatnya “lupa diri” akan asal usulnya . Jokowi bagai “mabuk” oleh peranannya sebagai Capres, seolah-olah ia sudah menjadi presiden RI definitif. Teguran keras ke Jokowi datang dari Megawati Soekarnoputri sendiri saat  menerima pengurus PKB dan Nasdem yang mendeklarasikan koalisi bersama PDI-P di kantor pusat PDI-P Lenteng agung. Pernyataan Mega yang menegur keras Jokowi sangat mengejutkan, “Saya pesan ke  Pak Jokowi, sampeyan tak jadikan Capres, tapi hanya ingat Capresnya, dan lupa Anda adalah Petugas Partai yang harus melaksanakan tugas partai itu meski sudah jadi presiden sekalipun,” katanya. Teguran ini memang sangat mengejutkan, sampai Koran Republika (16/5) mengutip sejumlah pengamat politik yang berkomentar sangat kontroversial.  Di antaraanya Prof. Asep Warlan Yusuf dari Bandung berkomentar peringatan Mega itu sebuah peringatan agar Jokowi  jangan pernah melawan Megawati,”Hal ini langsung ditegaskan oleh Mega bahwa Jokowi adalah petugasnya yang harus tunduk pada majikan,” kata Asep dari Universitas Parahyangan itu.

Pernyataan lebih keras lagi datang dari anggota Fraksi PAN di DPR, Taslim Chaniago yang menilai pernyataan Mega itu menunjukkan Jokowi merupakan Capres  Boneka di bawah kendali Megawati,”Kalau Jokowi terpilih menjadi presiden, Jokowi hanya akan menjadi boneka Megawati dan PDI-P saja. Artinya apapun kebijakan Jokowi harus sesuai dengan perintah Mergawati,” kata Taslim. Padahal selama ini Jokowi selalu berkata urusan partai tidak bisa mendiktenya sebagai gubernur DKI Jakarta. Menurut Taslim lagi, dengan pernyataannya itu menunjukkan Megawati belum legowo menjadikan Jokowi, sebagai Capres dan sebaliknya menunjukkan Megawati masih ingin menjadi presiden RI. Padahal kan presiden  tidak boeh disetir-setir oleh siapapun termasuk partai yang mengusungnya, kata Taslim tegas.

Dari berita itu terkuak kernyataan bahwa kubu PDI-P dan Joko Widodo tidak solid bahkan menyimpan bara yang panas dan sewaktu-waktu bisa membakar apa saja. Perbedaan antara Joko Widodo dan Puan Maharani, putri Mega selama ini acapkali  terkuak masyarakat, namun pers mencoba-coba menutup-nutupi friksi internal PDI-P-Jokowi itu. Friksi seperti itu niscaya mengganggu laju pencapresannya.Apalagi belakangan Puan juga dikabarkan akan maju juga sebagai Capres atau Cawapres.

Prabowo Bersama Partai Islam: Tokoh Masa Kini dan Tokoh Masa Depan

Prabowo yang telah dipastikan berkoalisi dengan partai-partai Islam—minus PKB—yakni PKS, PAN dan PPP, mungkin akan menyusul PBB akan bergabung, menyiratkan isyarat Prabowo tampaknya selalu bersama Islam. Kesan bahwa Prabowo selalu bersama kekuatan politik Islam sejatinya sudah ditangkap masyarakat luas sejak 1990-an awal, tatkala Prabowo masih berpangkat Perwira Menengah dan di golongkan sebagai jajaran ABRI Hijau. Kebersamaan Prabowo dengan Islam makin kentara di hari-hari akhir menjelang tumbangnya pemerintahan Presiden Soeharto (Baca juga :  Prabowo Alias Omar). Saat itu Prabowo yang dijuluki The Rising Star karena jabatannya di elite ABRI terus menanjak menduduki Wadanjen (Wakil Komandan Jendral) Kopassus bahkan melesat menjadi Danjen Kopassus disusul sebagai Pangkostrad awal 1998. Prabowo makin dicurigai kalangan minoritas karena kedekatannya dengan kalangan Islam. Puncak kecurigaan itu tatkala Prabowo memprakarsai acara Buka Puasa Bersama tokoh-tokoh  Ormas Islam, (Januari 1998) di Markas Komando Kopassus Cijantung.

Prabowo pun disebut-sebut oleh ketua MUI Pusat, KH.Hassan Basri yang hadir dalam acara buka puasa itu, “Prabowo adalah tokoh masa kini dan tokoh masa depan,” katanya disambut pekikan Allahu Akbar ribuan prajurit dan ribuan santri yang hadir. Alm. KH Hasan Basri pun mewanti-wanti ketika itu, agar umat Islam menjaga Prabowo. Penulis pun mewawancarai KH Hasan Basri dan menanyakan  apa maksud KH.Hasan Basri agar menjaga Prabowo yang ia sebut sebagai tokoh masa kini dan tokoh masa depan ? KH.Hasan Basri pun menjawab, “Betul kita harus menjaga Prabowo karena ada pihak di sebelah yang mendorong-dorong dengan tujuannya sendiri, itu berbahaya jadi harus dijaga martabatnya. Sedangkan maksud saya Prabowo tokoh masa depan adalah, beliau kan saat ini saja sudah  Danjen Kopassus, kabarnya sebentar lagi diangkat sebagai Letjen sebagai Pangkostrad. Jadi tinggal meningkatkan kariernya dari Letjen ke Jendral penuh, dan seterusnya. Kedudukan Pak Prabowo sudah tinggi sekali, naik lagi bisa, kalau turun tidak mungkin. Dan prestasi Pak Prabowo ini sungguh luar biasa,” Kata KH.Hasan Basri (Baca : Majalah Media Dakwah edisi Februari 1998 hal. 46).

Alhasil kebersamaan Prabowo bersama aspirasi Islam,umat Islam, dan Islam itu sendiri terekam secara faktual menjadi riwayat hidup Prabowo Subianto dalam meniti kariernya. Bukan “ujug-ujug” atau tiba-tiba belakangan Prabowo merintis keakraban dengan Islam hanya karena ia mencalonkan diri sebagai presiden pada Pilpres 2014 ini. Saat menulis laporan ini penulis ditelepon Ketua Umum PBB (Partai Bulan Bintang), DR. H MS Kaban M.Si, dan penulis mendorong agar PBB segera bergabung dengan Prabowo, agar Prabowo semakin jelas kubunya didukung semua partai Islam. Kaban berujar bahwa PBB sebenarnya sudah menyiapkan surat resmi dukungan untuk Prabowo, namun pihaknya tidak kunjung dikontak. Penulis pun mengingatkan, bahwa pada awal berdirinya PBB, Prabowo pun secara nyata banyak membantu PBB secara material, sehingga PBB mudah melakukan sosialisasi ke seluruh Indonesia. Benang merah hubungan yuang mesra Prabowo dan partai Islam (PBB), terkuak kembali.

Lebih sekadar adanya benang merah hubungan yang mesra dan historis antara Prabowo dengan perjuangan Islam, namun lebih penting lagi ketokohan Prabowo  bukanlah kosong substansi yang memang layak menduduki kursi RI-1. Konsep, Visi, dan Missi Prabowo diuraikan sejak edisi SI yang lalu, dan diuraikan lagi secara panjang lebar melengkapi laporan ini. Umat Islam bukan mengusung tokoh pepesan kosong jika mendukungm dan ikut memilih Prabowo Subianto sebagai Presiden RI 2014 ini.Di sinilah kuncinya mengapa umat Islam harus meilih Prabowo Capres pada Pilpres 2014.

Mengapa Tidak Memilih Jokowi dan PDI-P ?

Mengapa tidak memilih Jokowi sudah diuraikan di awal laporan ini panjang lebar. Bahkan hampir dua tahun terakhir Suara Islam menyajikan laporan yang terus terang agar masyarakat tidak memilih Joko Widodo sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta, apalagi Capres 2014 ini. Segudang alasan sudah nacapkali disampaikan. Terlebih lagi kini Jokowi dicalonkan resmi oleh PDI-P  yang sepanjang masa selalu melawan dan memusuhi aspirasi Islam di negeri ini.

Sejarah panjang PDI-P yang merupakan gabungan (fusi) partai-partai lawan Islam seperti Murba, Partai Katolik, Parkindo (Kristen), Partai Murba, dan IPKI,PNI. Dengan nama PDI diteruskan menjadi PDI-P, kiprahnya di Indonesia sejak 1970-an selalu berhadapan dengan aspirasi Islam di DPR. Ingat saja PDI dan PDIP ini mengganjal pembahasan UU Perkawinan, UU Sisdikdas pada 1989, UU Pornografi dan Pornoaksi di era reformasi ini. Ringkas kata, PDI-P niscaya melawan apa yang diperjuangkan kekuatan politik Islam di Indonesia. Jika kini mencoba menarik-narik kekuatan Islam seperti bergabungnua PKB, tetapi pertautan itu sebagai taktis menarik simpati umat Islam. Seperti pada Pilpres 2004 Mega menggandeng Cawaapresnya mantan Ketua PB NU KH Hasyim Muzadi, namun gagal total. Mengapa gagal ?

Ingat pada pada Pileg dan Pilpres 2004 yang lalu, baru saja rakyat Indonesia tersadarkan peranan PDI-P sepanjang lima tahun sebelumnya sejak PDI-P dielu-elukan rakyat dengan kemenangan telak pada Pemilu pertama di era reformasi 1999. PDI-P menang mutlak pada Pemilu 1999 itu dipilih rakyat Indonesia hampir 34%. Kader-kader PDI-P pun tiba-tiba naik daun, yang semula hanya makelar bus di terminal bus di kota-kota kecil saat itu terpilih menjadi anggota DPRD, dan berganti baju mengenakan jas dan dasi. Ada istilah sebutan saat itu kader PDI-P itu “Kere Munggah Bale”. Yang lebih fatal dari sekadar fenomena penampilan, kemudian para kader PDI-P itu keranjingan melakukan tindakan korupsi di mana-mana, dan mereka pun ditangkap jaksa  di mana-mana pula secara bersama-sama. Saat itu muncul istilah Korupsi Berjamaah yang mengacu pada perbuatan korupsi kader-kader PDI-P. Citra PDI-P pun anjlok di titik nadir. Rakyat Indonesia merasa menyesal beramai-ramai memilih PDI-P, sehingga membawa kemenangan telak pada Pemilu reformasi 1999, dan meraup suara 34%. Kemarahan rakyat kepada PDI-P di ekspresikan pada Pemilu 2004, dengan menghukum PDI-P dengan tidak memilih PDI-P. Suara PDI-P pun anjlok tinggal separuhnya dan hanya mempereoleh suara 16-17% suara. Pencalonan Megawati bersama tokoh NU Hasyim Muzadi pun “tidak dipilih rakyat Indonesia.

Riwayat kelam PDI-P yang faktual di atas apakah dilupakan begitu saja oleh rakyat Indonesia ? Apakah hanya dikelabuhi penampilan dan pencitraan Joko Widodo, lalu rakyat Indonesia, begitu saja kini tertipu/ mengagumi dan bahkan mendewa-dewakan Jokowi ? Sungguh malang nasib rakyat Indonesia jika sampai melupakan sejarah kelam PDI-P itu. Apalagi bagi umat Islam yang tertipu, karena sikap PDI-P selama ini, sudah sangat jelas menjadi kontra bahkan lawan dari aspirasi Islam di Indonesia. Karena itu, langkah nyata yang benar hanya dengan mendukung dan memilih Prabowo Subianto dengan Cawapresnya siapa saja pada Pilpres 9 Juli 2014 mendatang. Wallahu a'lam bissawab .

( HM. Aru Syeif Assadullah/suara islam/SUJA)