Karena Memeluk Islam, Siswa Selandia Baru Ditolak Ikut Pertukaran Pelajar ke Jepang

Karena Memeluk Islam, Siswa Selandia Baru Ditolak Ikut Pertukaran Pelajar ke Jepang
SujaNEWS.com — Seorang remaja muslim yang tinggal di Dunedin, Selandia Baru terancam gagal ikuti pertukaran pelajar ke Jepang. Alasannya apa lagi kalau bukan karena agama yang dianutnya. Hal ini kemudian menjadi perhatian Komisi Hak Asasi Manusia Selandia Baru.

Remaja pria itu bermama Sharif Steel (15 tahun). Dengan optimis ia mengajukan permohonan pertukaran pelajar ke Jepang. Namun sayang, melalui email yang dikirim oleh organisasi World Youth Service, ia diberitahukan bahwa pihak Jepang memiliki sejumlah pertanyaan menyangkut agama yang dianut Sharif.

Salah satu yang menjadi kendala, cerita Sharif, adalah soal makanan. Sebagai muslim tentu saja Sharif tidak akan memakan babi. Ini bertolak belakang dengan tradisi di sana. “Pada dasarnya, setiap keluarga Jepang mengonsumsi babi,” ujar Sharif.

Sharif mengajukan agar ia tidak perlu memakan babi saat di Jepang. Namun organisasi tersebut pada akhirnya memutuskan untuk menolak permintaan Sharif.

“Kenyataannya, tak dapat ditemukan keluarga yang tidak mengonsumsi babi di Jepang,” ujar Richard Ellis, dari organisasi World Youth Services.

Ibunda Sharif, Azizah menguatkan hati Sharif untuk memegang teguh agama fitrah yang telah dianutnya sejak lahir.

“Saya katakan pada Sharif, jangan pernah malu menjadi muslim,” ujar Azizah.

Komisi Hak Asasi Manusia mendorong organisasi pertukaran pelajar Selandia Baru untuk menghubungi rekan-rekan mereka di Jepang agar membantu menyelesaikan masalah ini.

“Kami sudah menghubungi pihak penyelenggara program pertukaran pelajar ini dan mendorong mereka untuk terlibat dengan rekan-rekan mereka di Jepang untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul,” ujar Komisi Hubungan Ras Selandia Baru, Dame Susan Devoy .

“Kami juga mendorong mereka untuk bekerja sama dengan Sharif dan keluarganya untuk mengatasi insiden ini,” jelasnya lagi.

Diskriminasi agama di Selandia Baru dianggap melanggar hukum berdasarkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia.